70 Hari Ditawan Diperlakukan Manusiawi, 7 Prajurit Marinir Belanda Terbuka Pikirannya

70 Hari Ditawan Diperlakukan Manusiawi, 7 Prajurit Marinir Belanda Terbuka Pikirannya

70 Hari Ditawan Diperlakukan Manusiawi, 7 Prajurit Marinir Belanda Terbuka Pikirannya; Penyergapan yang dilakukan pasukan dari Brigade I Ronggolawe bersama rakyat di jalan antara Panggulrejo dan Banjararum pada 23 Juli 1949, bisa dikatakan berlangsung sukses. Selain berhasil menewaskan lima serdadu marinir Belanda (termasuk komandan regunya bernama Letnan L.M. Teeken), mereka pun bisa merampas sejumlah senjata yang terdiri dari 2 pucuk Browning Automatic Rifle, 4 pucuk Jungle Rifle, 5 pucuk Garrand, 1 pelontar granat, beberapa pistol dan beberapa bayonet.

Yang paling penting, Brigade I Ronggalawe juga berhasil menawan tujuh prajurit marinir lainnya. Mereka antara lain: Kopral Marinir F.J. Cordes, Prajurit II Marinir A.W.A. van Revestein, Prajurit II Marinir van Dijk, Prajurit III Marinir Th. De Boer, Prajurit III Marinir J. Podt, Prajurit II Marinir J.G.J. Keetelaar dan Prajurit II Marinir Ben W. Reurling.

Tulis Surat untuk Keluarga
Para tawanan itu lantas dibawa ke Prambonwetan. Di sana dilakukan interogasi seperlunya oleh Letnan Satu Teko Notosubroto (pimpinan sebuah kompi yang menginduk kepada Batalyon ke-16 dari Brigade I Ronggolawe) dan Camat Rengel, Soehardi.

“Demi kemanusiaan, Letnan Teko memberikan kesempatan kepada mereka untuk menulis surat kepada kesatuan dan keluarga mereka masing-masing perihal kondisi mereka terkini,” ujar Soetjipto.

Dalam buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe (ditulis oleh Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe), disebutkan para tawanan itu membuat laporan singkat secara kolektif kepada Wakil Komandan Pos Brigade Marinir Belanda di Rengel yakni Sersan Mayor Van Der Lubbe.

Diberitakan bahwa mereka bertujuh telah ditawan oleh TNI sedangkan lima lain-nya telah gugur dalam pertempuran.

“Dalam surat itu, mereka pun meminta dikirim obat-obatan untuk Kopral Cordes yang terluka agak parah di kepala akibat terkena serpihan granat,” ungkap Rukmito Hendradiningrat, eks Kepala Staf Brigade I Ronggolawe.

Diberi Makan Roti dan Keju
Untuk mengamankan mereka dari kejaran pasukan Belanda, ketujuh tawanan itu lantas dibawa ke dua tempat yang berbeda: tiga orang di Jatirogo dan empat lainnya di Temayang. Selama menjadi tawanan, Komandan Brigade I Ronggolawe Letnan Kolonel Soedirman melarang keras anak buahnya menyakiti ketujuh prajurit marinir itu. Mereka harus diperlakukan secara manusiawi.

“Para tawanan itu malah diberikan pelayanan kesehatan secara khusus oleh seorang dokter tentara,” ujar Rukmito Hendradiningrat dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid II.

Perlakuan yang sangat manusiawi itu diakui oleh Ben W. Reurling, salah satu tawanan tersebut. Saat diwawancarai oleh peneliti sejarah dari Histori Bersama Marjolein van Pagee, Reurling menyatakan sangat menghormati sikap pasukan TNI yang menawannya.

Mereka bukan saja memperhatikan kesehatan para tawanan namun juga telah berupaya keras mencari roti, keju dan susu untuk makanan mereka, kendati kala itu cukup sulit untuk mendapatkan barang-barang tersebut di wilayah Republik.

“Kami diperlakukan secara baik sesuai kondisi kala itu. Sayang sekali, saat itu kita harus saling berhadapan karena mereka memiliki cita-cita sendiri yang harus kami cegah. Sedangkan cita-cita pihak Belanda sendiri saat itu tidak begitu baik,” ujar Reurling.

Terbuka Pikirannya
Sayangnya, karena kekurangan obat-obatan dan alat-alat medis, Kopral Cordes akhirnya harus meninggal. Menurut dokter Abdul Murad Husin yang merawat Cordes, sang kopral terpaksa harus menghembuskan nafasnya yang terakhir di Jatirogo karena mengalami infeksi akut dan malaria yang sudah begitu parah.

Hingga terjadinya gencatan senjata pada 10 Agustus 1949, ketujuh marinir Belanda itu tak jua bisa dilacak keberadaannya oleh induk pasukan mereka. Barulah pada 1 Oktober 1949, mereka bisa dikembalikan kepada pihak Belanda dalam satu momen tukar menukar tawanan.

Tujuhpuluh hari bersama para gerilyawan Republik cukup membuat para marinir itu mengerti mengapa orang-orang Republik mengangkat senjata untuk melawan kembalinya Belanda ke Indonesia.

Dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada orangtua-nya, Reurling malah menyatakan seharusnya pemerintah Belanda tidak menghalang-halangi orang-orang Indonesia untuk mencapai kebebasan suatu negara yang berdaulat sendiri.

(Source: merdeka.com)

Leave a Reply