Antara MMA dan Tinju; Mixed Martial Arts (MMA) tak bisa dipungkiri merupakan ajang brutal. Bekas darah petarung kerap terlihat di lantai octagon atau ring. Demikian pula dengan bercak darah lawan yang kadang menempel di tubuh petarung. Luka robek dan darah yang mengucur pun hal biasa. Bahkan guna memenuhi peraturan Komisi Penyiaran Indonesia, stasiun televisi sampai harus membuat layar berwarna hitam putih jika menayangkan siaran tunda MMA. Berikut yang telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;
MMA memang tidak bisa mengelak dari kesan yang keras, brutal, dan sadis sehingga menimbulkan kritik atau resistensi dari beberapa kalangan. Namun di sisi lain, orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengan MMA menilai risiko keselamatan atlet tidak berbeda jauh dengan olahraga kombat lainnya. dr. Wahyuni Ristiyana Homan Sp.KO yang sudah terlibat dalam ajang MMA internasional sejak 2011 menilai efek samping MMA lebih rendah daripada tinju.
“Dari beberapa riset yang mengumpulkan data injury dan kematian, MMA bukan olahraga yang punya risiko paling tinggi. Tinju yang malah [memiliki risiko kematian atlet] lebih tinggi. Kenapa? Karena MMA punya regulasi yang lebih ringan. Karena hanya tiga ronde, satu ronde lima menit, kecuali kalau pemegang sabuk bertarung lima ronde,” ucap dr. Wahyuni. “Tinju itu juga ada standing count [hitung angka ketika ada petinju terjatuh]. Kalau mereka bangkit lagi, bertanding lagi. Kalau di MMA kan tidak. Ketika tidak mampu lanjut ya sudah,” sambung dokter yang juga mendalami karate kyokushin.
Perbandingan soal MMA dan tinju juga diutarakan dr. Junaidi Sp.KO, yang memiliki pengalaman di kancah MMA lokal sejak awal 2000-an. Tenaga medis memeriksa petarung dalam pertandingan MMA One Pride. Jakarta, Sabtu, 15 Februari 2020. CNNIndonesia/Adhi Wicaksono.Setiap petarung harus melewati tes sebelum dan setelah berlaga. “Biasa saja ya [risiko MMA], karena itu tendangan dan pukulan merata di mana-mana. Kalau tinju itu hanya kepala, sedangkan ini bisa di mana-mana. Bisa kepala, kaki, bisa badan, jadi ini merata. Jadi dibanding tinju, MMA lebih aman, asal protokol kesehatan dipenuhi,” ujar sosok yang menjadi dokter utama di acara MMA One Pride.
“Selama mereka [atlet] bertanding, dokter pendamping enggak boleh meleng. Mereka harus lihat terus berapa kali kena pukul kepala. Jadi nanti ketika setelah bertanding dia muntah-muntah, bisa tahu ini karena pukulan kepala atau karena kecapekan,” sambungnya. MMA juga disebut relatif aman lantaran faktor sarung tangan yang lebih kecil dan ringan ketimbang tinju, muay thai atau kickboxing. Beratnya hanya berkisar empat ons.
“Kalau tinju atau kickboxing kan lebih besar dan membal. Itu efek pukulan ke kepala lebih besar. Kalau di MMA kita seperti bertarung dengan tangan kosong, mirip seperti itu,” kata mantan petarung MMA, Zuli Silawanto, yang kini menjadi pelatih salah satu sasana di Jakarta Selatan. Selain dokter yang mengawasi tindak-tanduk petarung, wasit pun punya peran penting. Ketika ada petarung terluka atau sedang berada dalam kondisi terkunci, maka mata wasit harus jeli dan wajib cepat ambil keputusan menghentikan pertarungan atau tidak.
Namun bukan berarti tidak ada petarung yang cedera parah seperti dislokasi atau patah tulang. “Tentu yang paling sering luka di muka karena pukulan. Kedua karena dislokasi bahu karena tarikan, ada sedikit dislokasi siku, kemudian patah hidung, lengan, atau jari,” ucap dr. Junaidi mengenai beragam cedera yang sering ditemui dalam pertarungan MMA.
Skill dan daya tahan tubuh atlet juga menjadi kunci penting keselamatan di arena MMA. Semakin disiplin seorang petarung dalam persiapan, maka kondisi badan pun akan lebih siap menghadapi berbagai situasi. “Kalau fighter benar-benar siap, risiko cedera tidak akan tinggi sekali. Seorang fighter yang bijak juga akan bermain cantik, bermain teknik, bukan asal jual-beli pukulan terus bonyok, dengan demikian tidak banyak cedera,” tutur dr. Wahyuni.
Dalam sebuah pertarungan profesional, unsur brutal yang menjadi ciri khas MMA juga diimbangi dengan pengecekan kesehatan atlet yang cukup ketat. Seorang fighter bakal menjalani tes sebelum dan setelah duel: mulai dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, pemeriksaan tulang tengkorak, dan pemeriksaan mata. Bahkan di beberapa ajang ada pula yang menggunakan tes dehidrasi untuk mengetahui apakah seorang petarung memiliki cairan yang cukup dalam tubuhnya.
“Kalau dalam kondisi tidak baik, ya tidak bisa bertarung,” kata Zuli yang memiliki pengalaman salah satu anak asuhnya gagal debut di ONE Championship lantaran tidak mampu melewati dehydration test setelah berupaya keras menurunkan berat badan. “Protokolnya, waktu audisi ada tes kesehatan. Ketika mau tanding ada tesnya lagi. Darah, urine, EKG, prostat, hepatitis. Ketika malam besoknya mau bertanding, itu cek lagi kesehatan. Kemudian habis tarung mereka diperiksa lagi,” beber dr. Junaidi.
Jadwal tanding para petarung pun akan tergantung hasil pemeriksaan. Bisa saja seorang atlet istirahat cukup lama lantaran mengalami cedera yang serius, tapi ada pula yang langsung menjalani duel dalam waktu singkat seandainya tidak ada luka berat. Tak heran seorang fighter dituntut tidak meremehkan prosedur pengecekan kesehatan. “Jangan sampai ketika bertanding ada cedera bawaan. Ini kan merugikan semua termasuk penyelenggaranya juga,” kata salah satu petarung senior yang pernah meraih gelar juara di tingkat nasional, Suwardi.
Dua petarung dalam pertandingan MMA One Pride. Jakarta, Sabtu, 15 Februari 2020. CNNIndonesia/Adhi Wicaksono.Atlet MMA dituntut disiplin menjaga kesehatan dan latihan demi keselamatan ketika bertarung. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono. Menurut pengalaman dokter, para atlet yang telah bertarung di kancah profesional sudah mulai menyadari pentingnya periksa kesehatan secara mandiri.
“Kalau disimpulkan, karena ini profesional maka juri, wasit, tenaga kesehatan dibayar lebih memadai. Kemudian protokol kesehatan, mereka [penyelenggara] bayar lab segala macam. Karena mereka dapat hadiah besar, si petarung juga tidak segan-segan memeriksa kesehatan sendiri,” terang dr. Junaidi. Seandainya seorang petarung mengalami luka berat dan harus mendapat perawatan, ada beberapa penyelenggara atau promotor yang bersedia bertanggung jawab lebih lanjut.
“Kita punya kerja sama dengan BPJS dan punya tim medis khusus. Kita bekerja sama dengan rumah sakit rujukan, ambulans, dan ketika mereka patah [cedera] akan ditanggung di awal, untuk perawatan lanjutan mungkin mereka bisa sendiri. Tapi kami tak lepas tangan,” kata Max Metino mantan atlet MMA yang saat ini menjabat Ketua Dewan Juri PT Merah Putih Berkibar promotor One Pride. Tak cuma level nasional saja, pertarungan di tingkat bawah juga menggandeng kerja sama dengan pihak asuransi atau BPJS.
“Dokter tiga atau empat, ambulans, tabung oksigen, kita cover asuransi BPJS. Pada saat pendaftaran kita mau terima fighter kalau mereka punya asuransi untuk meminimalisir risiko. Namanya benturan kan pasti terjadi. Walaupun ada dokter tapi kan enggak tahu juga [risiko yang akan terjadi],” kata pemilik sasana Siam, Yoko Arthi Budiman, soal protokol kesehatan ketika rutin mengadakan acara pertarungan MMA sebelum pandemi Covid-19. “Sekarang ada BPJS, jadi ada jaminan untuk fighter kalau sampai kenapa-kenapa. Kalau mereka (petarung) tidak punya, ya kami siapkan, kami buatkan asuransi,” ucap Yoko.
Olahraga MMA yang kini naik kelas dan menarik perhatian publik juga memicu para penyelenggara untuk lebih berhati-hati dan tidak sembrono mengadakan acara. “MMA ini bukan underground lagi. Artinya sudah diawasi pemerintah bahwa ini adalah olahraga yang keras. Tidak bisa sembarang orang bertanding dan mengadakan pertarungan,” ujar Fransino Tirta, praktisi MMA yang sudah bertarung sejak awal 2000-an dan kini aktif melatih. “Kalau ada yang mau menggelar MMA, orang ini harus dapat lisensi dulu.”
(Source: cnnindonesia.com)