Didi Kartasasmita, Khianati Ratu Belanda Demi Republik Indonesia

Didi Kartasasmita, Khianati Ratu Belanda Demi Republik Indonesia

Didi Kartasasmita, Khianati Ratu Belanda Demi Republik Indonesia; Merasa sudah tak terikat lagi dengan militer Belanda, seorang eks perwira KNIL menjadi salah satu pelopor pendirian tentara Indonesia. Cerita itu berawal di Jakarta pada suatu hari akhir September 1945. Syahdan seorang mantan opsir KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) berkunjung ke suatu rumah di bilangan Jalan Malabar, wilayah Menteng Pulo. Ketika bertemu dengan penghuni rumah tersebut, Didi Kartasasmita (nama sang mantan opsir itu) langsung memperkenalkan diri.

“Saya lulusan KMA Breda, dan pernah menjadi letnan satu pada kesatuan KNIL. Saya merasa terpanggil untuk membantu perjuangan Republik Indonesia. Apa kiranya yang dapat saya kerjakan?” demikian kisah Didi dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan (disunting oleh Tatang Sumarsono).

Amir Sjarifudin, nama sang penghuni rumah di Jalan Malabar itu, langsung menyambut kata-kata Didi dengan wajah sumringah. Pucuk dicinta ulam tiba, sebagai menteri penerangan sekaligus menteri pertahanan ad interim di republik yang baru saja diproklamasikan, Amir memang tengah membutuhkan orang-orang seperti Didi.

“Memang. Saudara diharapkan dapat membantu kami. Tentu banyak yang dapat saudara kerjakan,” jawab Amir.

Keduanya lantas terlibat dalam diskusi yang serius. Didi menyatakan keprihatinannya bahwa sejak orang-orang NICA mendarat bersama tentara Inggris di Jakarta, banyak eks KNIL seperti dirinya langsung bergabung dengan pemerintah sipil Hindia Belanda yang dibentuk oleh H.J. van Mook tersebut. Padahal nyata sekali, NICA datang untuk menumpas pemerintah RI yang sah.

“Hal-hal seperti itu harus kita bendung,” kata Amir.

Amir kemudian mendiskusikan soal tersebut dengan Presiden Sukarno. Mereka sepakat bahwa pemerintah RI harus mengakomodir keinginan eks perwira KNIL yang pro Republik itu. Selain eks anggota PETA (Pembela Tanah Air), perwira-perwira didikan Belanda tersebut juga akan dilibatkan dalam pembentukan tentara Republik yang tengah digodok.

Gugurnya Sumpah Setia pada Ratu Belanda
Singkat cerita, dengan dukungan Bung Karno dan Bung Amir, Didi kemudian melakukan perjalanan safari mengunjungi rekan-rekannya sesama eks perwira KNIL di Jawa. Dia lantas berhasil mengumpulkan 13 tandatangan (termasuk tandatangan eks Mayor KNIL Oerip Soemohardjo).

Pada 15 Oktober 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Amir Sjarifuddin sebagai wakil pemerintah RI mensahkan terbentuknya TKR (Tentara Keamanan Rakjat). Oerip Soemohardjo diangkat sebagai formatur dengan menjabat posisi sebagai kepala staf umum MBO (Markas Besar Oemoem).

Didi sendiri diberi pangkat jenderal mayor. Dia kemudian ditugaskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa Barat. Otomatis tugas tersebut menjadikannya sebagai Panglima Komandemen Jawa Barat.

Di lain pihak, bergabungnya 20 eks perwira KNIL ke TKR membuat marah eks anggota-anggota KNIL yang lain. Mereka dicerca sebagai ‘pengkhianat’ yang telah melanggar sumpah setia kepada Ratu Belanda.

Bahkan begitu berangnya mereka, hingga Panglima KNIL Letnan Jenderal S.H. Spoor (eks instruktur Didi di KMA Breda) menyebut Didi sebagai ‘bajingan’. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia.

Namun Didi memiliki hujah sendiri terkait soal tersebut. Dia meyakini bahwa sejak Panglima KNIL Letnan Jenderal Hein ter Poorten menyatakan KNIL bubar pada 9 Maret 1942, secara otomatis kewajiban untuk ‘setia kepada Ratu Belanda’ gugur.

Ketika dihadapkan kepada dua pilihan: berada di pihak NICA yang ingin menjajah kembali Indonesia atau berada di pihak RI yang sudah menjadi negara merdeka, tentu saja sebagai orang Indonesia dirinya akan berdiri di belakang RI.

(Source: Merdeka.com)