Dulu Nunggak Uang Bangunan Sekolah Balik Lagi Sudah Jadi Mayor Jenderal TNI

Dulu Nunggak Uang Bangunan Sekolah Balik Lagi Sudah Jadi Mayor Jenderal TNI

Dulu Nunggak Uang Bangunan Sekolah Balik Lagi Sudah Jadi Mayor Jenderal TNI; Masuk akademi militer dan menjadi perwira TNI adalah impian banyak pemuda. Terutama yang tak punya uang dan ingin mengubah nasib yang serba pas-pasan, Soegito salah-satunya. Tak banyak pilihan untuk Soegito selepas lulus SMA. Orang tuanya sudah menyatakan tak sanggup lagi membiayai pendidikan di universitas. Saat bersekolah pun Gito sudah menumpang di rumah kakaknya di Purwokerto.

Ayah Soegito, Pak Soeleman adalah pensiunan pegawai negeri Perkeretaapian dan Telekomunikasi (PTT). Tentu sangat berat merawat dan membiayai 13 anak saat itu. Bisa bersekolah sampai SMA saja sudah hal yang mewah.

Maka menjadi tentara yang seluruh biaya pendidikannya ditanggung oleh negara adalah pilihan satu-satunya.

Jual Sepeda untuk Ongkos
Tahun 1958 Soegito mendaftar masuk Akademi Militer Nasional. Informasi soal AMN didapatnya dari iklan di bioskop. Dulu sebelum zaman media sosial, iklan dari pemerintah sering ditayangkan sebelum film dimulai. Termasuk beberapa informasi dari TNI.

Seleksi untuk AMN ternyata digelar di Semarang. Maka Soegito terpaksa bolak balik Purwokerto-Semarang untuk mengikuti tes.

Sebenarnya ongkos dan penginapan akan ditanggung oleh pihak AMN. Namun tetap saja ada pengeluaran lain selama tes. Karena kekurangan uang, terpaksa sepeda kesayangan yang sudah menemani sejak SMP dijual.

“Lumayanlah dapat tambahan dana,” kisah Soegito seperti dituliskan Beny Adrian dalam buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen tahun 2015.

Ijazah Ditahan Sekolah
Soegito mengikuti tes dengan cukup lancar. Hobinya memang berolahraga. Jadi tes fisik untuk masuk tentara dirasa bukan hal yang terlalu sulit baginya.

Syarat bagi peserta yang lolos seleksi AMN adalah membawa ijazah SMA asli. Soegito pun menghadap kepala sekolahnya di SMA Bagian B Negeri Purwokerto.

Pak Soemarmo, kepala sekolahnya kemudian membolak-balik berkas. Dengan datar dia kemudian berkata Gito belum melunasi uang bangunan sekolah, maka ijazahnya belum bisa diambil.

“Tapi saya benar-benar tidak punya uang lagi, Pak,” kata Soegito lemas.

“Tapi siswa Gito harus membayarnya, bagaimana?” balas Soemarmo dengan nada meninggi.

Soegito kembali berterus terang dirinya tidak punya uang. Sudah habis untuk biaya tes dan bolak-balik Semarang-Purwokerto. Mau pinjam uang pada kakaknya pun malu. Masak sudah numpang mau pinjam uang lagi.

Akhirnya dengan agak terpaksa, kepala sekolah itu pun menyodorkan ijazah SMA pada Soegito.

Jadi Mayor Jenderal
Dari Semarang, Soegito mengikuti tes akhir di Cimahi. Dia kembali dinyatakan lulus dan dikirim ke Akademi Militer Nasional di Magelang untuk mengikuti pendidikan.

Gito lulus tahun 1961. Berbagai penugasan di medan tempur sebagai anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dijalaninya. Karirnya melesat hingga menjadi perwira tinggi TNI.

Sekitar tahun 1987, Gito kembali ke SMA di Purwokerto. Dia menghadiri undangan reuni bersama kawan-kawannya. Mereka bersepakat membangun lapangan olahraga di sekolahnya tersebut.

Soegito saat itu sudah menjadi Panglima Kodam Jaya di Jakarta dengan pangkat Mayor Jenderal.

Tanpa pikir panjang Soegito mengeluarkan semua uang yang ada di dompet dan saku celananya. Tanpa dihitung, diberikannya semua untuk sumbangan ke sekolahnya.

Di perjalanan pulang, dia terkenang kembali pengalamannya saat dulu ijazahnya sempat ditahan 30 tahun lalu karena belum melunasi uang bangunan.

“Pak, utangnya sudah saya lunasi semua,” gumamnya dalam hati.

Soegito meneruskan karirnya di TNI AD. Kelak dia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Perwira tinggi dengan tiga bintang di pundak. Perjuangannya bersusah payah sejak SMA terbayar sudah.

(Source: Merdeka.com)