Kisah Bung Karno dan Sopirnya: Dari Ditinggal Ngopi Sampai Dikepung Tentara Belanda; Sebagai sopir pribadi, Arief pernah mengalami kisah-kisah mengesankan bersama Presiden Sukarno. Termasuk saat mobil mereka akan ditembaki sekelompok tentara Belanda di Jakarta. Sejak ‘dilamar’ Sukarno untuk menjadi sopir pribadinya pada 1943, kehidupan Arief praktis tak lepas dari Si Bung Besar. Bahkan ketika detik-detik dibacakannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Arief merupakan salah satu orang yang membantu pencarian bambu untuk memasang bendera merah putih. Demikian menurut penjelasan Anjar Any dalam buku Menyingkap Tabir Bung Karno.
Tidak heran jika hubungan antara sang presiden dengan sopirnya itu berlangsung sangat akrab. Sebagai sopir pribadi Bung Karno, Arief terlihat tidak pernah merasa canggung jika berhadapan dengan sang presiden, dalam situasi apapun. Kedekatan itu terlihat nyata jika keduanya sedang terlibat suatu pembicaraan.
“Saya sendiri belum pernah melihat Bung Karno marah kepada Pak Arief…” ujar H. Mangil Martowidjojo, ajudan setia Presiden Sukarno sejak 1945.
Bung Karno Ditinggal Ngopi
Dalam buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil berkisah, pada sekira akhir 1945, Bung Karno mengunjungi Garut dan berpidato di Lapangan Cisurupan. Begitu selesai, Bung Karno langsung menaiki mobilnya. Namun tiba-tiba turun kembali karena didapatinya Arief belum ada di belakang setir. Dia lantas menyuruh beberapa ajudannya untuk mencari Arief.
Beberapa menit kemudian, Arief datang diiringi para ajudan. Dengan tenang dia kemudian masuk ke bagian depan mobil dan setelah semua rombongan berada di dalam mobil, Arief pun perlahan menjalankan kendaraan tersebut.
“Rif, kau dari mana saja?” tegur Bung Karno.
Alih-alih merasa gugup, dengan tenang Arief menjawab pertanyaan sang presiden:
“Dari ngopi, Tuan. Habis mulai pagi, saya belum minum kopi. Ajudan tidak ngurusi saya. Dan saya kalau belum ngopi, bisa ngantuk di jalan dan bisa kecelakaan. Di dalam mobil, saya yang tanggungjawab sama Tuan, bukan pengawal. Pengawal kan (bertanggungjawab) kalau ada bahaya serangan, itu baru tugas pengawal.”
Tidak Boleh ada Suara Berisik
Mendapat jawaban panjang lebar dari Arief, Bung Karno pun diam seribu bahasa. Namun sesampai di Jakarta, Bung Karno secara tegas memerintahkan kepada para ajudan untuk selalu memperhatikan semua sopir yang mengikuti konvoi.
Di kesempatan lain, Bung Karno merasa terganggu dengan suara berisik yang berasal dari badan mobil. Padahal semua orang tahu, jika sebuah mobil dinaiki oleh Bung Karno maka tidak boleh sama sekali ada suara berisik. Sang presiden bisa ngomel-ngomel.
“Rif, ini apa yang berisik?” tanya Bung Karno.
“Mobilnya, Tuan,” jawab Arief kalem.
“Kenapa tidak kau cari yang berisik itu dan kau betulkan?”
“Dicari sih sudah, Tuan. Tetapi belum ketemu. Orang namanya besi beradu sama besi, ya tentunya berisik sekali, Tuan.”
Mendapat penjelasan dari Arief, Bung Karno pun tidak lagi rewel.
Dikepung Tentara Belanda
Arief juga pernah terjebak dalam ancaman maut bersama Bung Karno beberapa bulan setelah proklamasi berlangsung. Ceritanya, suatu hari Bung Karno ada keperluan bertemu dengan dr. Soeharto di kawasan Kramat, Jakarta.
Namun baru saja mobil yang disopiri Arief itu sampai di depan pagar rumah sang dokter, puluhan serdadu Belanda datang dan langsung memasang posisi siap tembak. Arief dan Sukarno pun terkepung dan tak bisa kemana-mana. Demikian menurut R.Soeharto dalam otobiografinya, Saksi Sejarah:Mengikuti Perjuangan Dwitunggal.
Via telepon, Soeharto lantas meminta bantuan kepada Tabib Sher, yang akrab dengan kalangan tentara British Indian Army (BIA). Demi mendengar kabar tersebut, Sher lantas memberitahu kepada prajurit-prajurit BIA yang tengah berkumpul di rumahnya saat itu. Tanpa banyak pertimbangan, berangkatlah mereka ke Jalan Kramat. Begitu tiba, salah seorang prajurit BIA itu berteriak agar serdadu-serdadu Belanda tersebut menghentikan aksinya.
Alih-alih patuh, serdadu-serdadu itu malah semakin beringas dan menyatakan bahwa mereka tak akan melepaskan musuh besarnya yang sudah terjebak di depan mata. Penolakan itu direspon dengan keras oleh para prajurit BIA. Tanpa diperintah, mereka kemudian membentuk posisi stelling, siap bertempur dengan kelompok tentara Belanda itu.
Melihat keseriusan tentara Inggris tersebut, serdadu-serdadu Belanda pun akhirnya keder. Mereka pun mundur sambil mengucapkan sumpah serapah. Saat mereka melakukan gerakan mundur itulah, Soeharto kemudian datang menjemput Bung Karno dan Arief lalu membawa merdeka berdua ke rumahnya. Maka selamatlah presiden RI dan sopirnya dari ancaman senjata tentara Belanda.
(Source: Merdeka.com)