Kisah RA Kosasih Panglima Siliwangi Yang Rendah Hati; Bagaimana kiprah seorang perwira yang diangkat sebagai panglima Kodam Siliwangi justru saat Jawa Barat tengah gencar-gencarnya menghadapi gerakan Darul Islam. Divisi Siliwangi (kemudian menjadi Komando Militer Daerah Siliwangi) yang berbasis di Jawa Barat, banyak melahirkan perwira-perwira mumpuni dalam sejarah perkembangan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satunya sebut saja Raden Achmad Kosasih, panglima Kodam Siliwangi yang ke-8.
Sejak awal, Kosasih merupakan perwira yang sebagian besar karirnya dihabiskan di lapangan. Ketika terjadi Perang Konvoi (1945-1946) yang menjalar dari Bogor-Sukabumi, Cianjur, Ciranjang dan Bandung, dia sudah terlibat sebagai perwira markas mendampingi komandan Resimen III Letnan Kolonel Eddie Soekardi.
“Dia waktu menjadi ajudan saya, masih berpangkat letnan satu. Orangnya loyal dan cerdas. Wajar jika karirnya kemudian menanjak,” ungkap Eddie Soekardi, setahun sebelum meninggal pada September 2014.
Perang Konvoi merupakan perang panjang para pejuang Indonesia melawan tentara Inggris/Belanda. Peristiwa itu tercatat bukan saja dalam sejarah kemiliteran Indonesia, namun juga dalam sejumlah literatur sejarah militer Inggris, sebagai salah satu ‘perang terkeras’ di kawasan Timur Jauh.
Panglima di Tengah Badai
Ketika menghadapi agresi militer Belanda, Kosasih tercatat sebagai salah satu komandan batalyon di bawah Brigade II Soerjakantjana pimpinan Letnan Kolonel A.E. Kawilarang. Saat Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, Batalyon Kosasih dikenal sebagai salah satu pasukan TNI yang berhasil memukul mundur para pendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Musso-Amir Sjarifudin dari kota-kota di Jawa Tengah. Demikian penjelasan Himawan Soetanto dalam buku Rebut Kembali Madiun!
Pada 1 September 1949, Komando Militer Daerah IV (KMD IV) membentuk Brigade ke-15 yang bermarkas di kawasan Cigunung, Sukabumi. Mayor Kosasih diangkat sebagai komandannya. Delapan tahun kemudian, karir perwira kelahiran Sukabumi tersebut melesat dan pangkatnya sudah kolonel. Tahun itu juga dia diangkat sebagai panglima Kodam VI Siliwangi sekaligus diberikan tugas berat: mengatasi gerakan DI/TII yang tengah merajalela di Jawa Barat.
Tahun 1957 adalah “masa-masa menghadapi badai” bagi militer Indonesia dalam menghadapi gerakan DI/TII. Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, sejak akhir 1956 DI/TII nyaris menguasai wilayah-wilayah di Priangan Timur terutama Tasikmalaya.
“Darul Islam menguasai seperlima wilayah Tasikmalaya: 75 desa dari 201 desa,” ungkap pengamat gerakan DI/TII asal Belanda itu.
Pihak TNI mengakui dominasi gorombolan (sebutan masyarakat Jawa Barat untuk gerilyawan DI/TII) atas wilayah-wilayah tersebut. Kendati pos-pos prajurit Kodam VI Siliwangi banyak didirikan di seluruh zona merah, namun pada kenyataannya mereka hanya berkuasa di siang hari.
“Tahun 1957, merupakan tahun yang paling sulit bagi anak-anak Siliwangi…” demikian analisa pihak Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi dalam Siliwangi dari Masa ke Masa.
Menurut budayawan Sunda H. Usep Romli H.M, situasi tersebut sempat direkam oleh Kantor Berita Antara dalam buletinnya berjudul ‘Gerombolan Makin Ganas, Tentara Makin Lalai’.
Seorang wartawan dari Sipatahoenan (koran legendaris urang Sunda) kemudian mengalihbahasakan tulisan Antara tersebut secara harfiah ke dalam bahasa Sunda dengan judul: ‘Gorombolan Beuki Ganas, Tentara Beuki Lalay’.
“Artinya kan jadi lain, kalau dibahasaindonesiakan kurang lebih begini: Gerombolan Suka Makan Nanas, Tentara Suka Makan Kelelawar,” ujar Usep.
Tentu saja begitu tulisan itu turun, khalayak menjadi kaget sekaligus geli. Namun tidak demikian dengan Kosasih. Alih-alih ikut merasa lucu dengan tulisan tersebut, dia malah menyatakan kegusarannya atas kecerobohan wartawan Sipatahoenan itu.
“Piraku anak buah aing ngahakan lalay, hah?! Rangsum kejo ge rea keneh, deuleu!” ujar Kosasih. Arti ungkapannya itu kurang lebih begini: Masa iya anak buah saya memakan kelelawar?! Ransum nasi saja masih berlimpah kok?!
Perwira Rendah Hati
Cerita tentang Kosasih juga pernah dikisahkan oleh salah seorang keponakannya yang bernama Agih Subakti. Suatu hari di akhir 1950-an, Kosasih tengah memeriksa pasukan dalam suatu wilayah Jawa Barat. Di tengah barisan tiba-tiba dia berhenti dan menghampiri seorang kapten yang tampak usianya lebih tua darinya.
“Damang, Kang?” katanya setengah berbisik, bertanya kabar dalam bahasa Sunda halus.
Masih dalam kondisi sikap sempurna, sang kapten langsung menjawab sapaan panglimanya itu. Namun yang aneh dia menjawabnya dalam bahasa Sunda awam.
“Cageur euy!” jawab dia. Artinya: yang bersangkutan ada dalam kondisi baik-baik saja.
Kemudian Kosasih pun melanjutkan inspeksi pasukan ke barisan lain. Siapakah sang kapten yang ‘rada kurang ajar’ itu?
Dia tak lain adalah R.A. Adjid, kakak ketiga dari Kosasih. Inilah contoh kerendahan hati dan terpeliharanya rasa cinta seorang adik bungsu. Kendati dirinya seorang panglima, Kosasih tetap menghormati kakak yang pangkatnya lima tingkat lebih rendah dibanding dirinya. Ya saudara tetaplah saudara.
(Source: Merdeka.com)