You are currently viewing Kontroversi Penampilan Sukarno

Kontroversi Penampilan Sukarno

Kontroversi Penampilan Sukarno; Presiden Sukarno kerap tampil necis dan gagah. Namun gaya berpakaian militernya mengundang kritik dari sejumlah perwira. Jenderal Abdul Haris Nasution punya kesan tersendiri terhadap penampilan Presiden Sukarno. Menurutnya, Bung Karno senang terlihat modis dan perlente. Hingga sekali waktu, Nasution memberanikan diri menanyakan sesuatu yang sifatnya agak pribadi. Berikut yang telah dirangkum Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;

“Mengapa selalu pakai dasi, mengapa tidak dengan kemeja kerja saja?” tanya Nasution kepada Bung Karno. “Ah, nanti saya masuk angin,” jawab Bung Karno sekedarnya seperti dikisahkan Nasution dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua. 

Sudah jadi rahasia umum kalau Sukarno memang gemar bersolek. Dari atas ke bawah, Sukarno piawai memadukan kombinasi busana rancangannya sendiri. Seragam kepresidenan bergaya militer lengkap dengan atribut acap kali membalut tubuhnya. Kemudian, Sukarno suka pakai peci khas yang memahkotai kepalanya. Tidak luput, kaca mata hitam dan tongkat komando sebagai aksesoris. Kepiawaian Bung Karno dalam mengenakan itu semua diakui sendiri oleh putra sulungnya, Guntur Sukarnaputra. “Dari sekian banyak kepala negara atau kepala pemerintahan,” kata Guntur dalam Bung Karno dan Kesayangannya, “Bapak terkenal sebagai salah satunya yang berpakaian secara dandy (rapih) dan mentereng.”

Meski demikian, perkara gaya berpakaian Sukarno menjadi sorotan bagi sejumlah perwira militer. Soalnya, Sukarno yang orang sipil itu suka tampil dengan uniform militer ke mana-mana. Nasution mengatakan bahwa Sukarno amat teliti dalam berpakaian. Penampilan Nasution sendiri bahkan tidak luput dari koreksi Sukarno.  “Saya berkali-kali diingatkan karena kurang teliti berpakaian, bahwa taille baju saya tidak tepat dan sebagainya,” kenang Nasution.

Kritik yang tajam pernah disampaikan Brigjen Surachman, panglima Divisi Brawijaya. Masih dalam tuturan Nasution, ketika Sukarno berkunjung ke Jawa Timur, Surachman turut menyambut di lapangan terbang. Di sela-sela sambutan itu, Surachman menyisipkan pesan langsung kepada Sukarno. Begini kata Surachman, “Rakyat akan lebih senang melihat Presiden berpakaian sederhana, daripada dalam seragam militer gemerlapan.” Sontak saja perkataan itu bikin Sukarno marah. Kejadian itu membuat Sukarno tidak mau bicara. Surachman pun dicuekin.

Masukan yang paling menohok bagi Sukarno barangkali datang dari Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang. Ketika menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), Simatupang pernah terang-terangan meminta Sukarno agar jangan lagi memakai seragam militer. Dalam Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang, Simatupang mengenang “kelancangannya” kala menasihati Bung Karno itu terjadi saat dirinya masih perwira muda berusia  29 atau 30 tahun.

“Bung Karno”, kata Simatupang, “Saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang memakai uniform dan memberikan hormat kepada Bung Karno yang tidak memakai uniform, sehingga dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu yang tinggi, tapi yang tidak pakai uniform.”

Menurut Simatupang, presiden dapat memberikan contoh yang sangat baik dengan mengenakan pakaian sipil pada upacara militer. Dengan begitu, Sukarno memperoleh penghormatan sebagai panglima tertinggi bukan karena uniform-melainkan karena yang bersangkutan adalah kepala negara. Alih-alih menerima saran, Sukarno malah tersinggung dengan ucapan Simatupang. Namun, dia hanya memendam jengkel tanpa mau membicarakannya. Simatupang kemudian mendengar dari orang lain betapa marahnya Sukarno sehingga beredar rumor kalau Simatupang melarang Sukarno memakai uniform.

Bagi Sukarno, seperti diungkap Walentina Waluyanti de Jong, gaya dan penampilannya lebih pada soal insting, selera, kesadaran, dan pemahamannya tentang estetika. Jauh sebelum menjadi pemimpin bangsa, penampilannya selalu terjaga apik. Kecenderungan Sukarno untuk selalu tampil representatif memang sudah jadi bakat alamiah. “Pada zaman Jepang yang serba susah pun, tetap saja Sukarno tampil flamboyan bak model saat tampil pada sampul majalah Djawa Baroe,” tulis Walentina dalam Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen.

Soal penampilan, Sukarno sendiri dalam otobiografinya yang disusun Cindy Adams Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat mengatakan seragam dan peci hitam adalah tanda pengenal dirinya. Menurutnya itu adalah pakaian yang patut dikenakan bagi presiden selaku panglima tertinggi. Penampilan dengan uniform militer itu juga jadi suatu tanda yang dapat mengangkat kepercayaan diri, tidak hanya bagi diri Sukarno tetapi juga untuk rakyatnya. “Setelah kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam My Friend the Dictator.

Gaya Busana Pemimpin Asia Tenggara

Ada makna tersembunyi di balik balutan busana para pemimpin negara di Asia Tenggara. Pada Oktober 1961, Cindy Adams bersua dengan Presiden Sukarno. Jurnalis berparas cantik kebangsaan Amerika itu memang tengah bertugas mewawancarai Bung Besar. Sukarno meminta Cindy menjadi penulis otobiografinya. Dalam pertemuan pertama mereka, Cindy melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik namun terbilang berani. “Tuan, mengapa anda selalu mengenakan seragam?” tanya Cindy dalam My Friend the Dictator.

 “Aku memakai seragam oleh karena aku Panglima Tertinggi. Rakyatku sudah begitu lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak,” jawab Sukarno. “Setelah kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam.”

Namun, dengan setengah menggoda, Cindy menukas Sukarno dengan tatapan mata yang lekat, “Saya tidak percaya terhadap semua penjelasanmu. Saya yakin, kau selalu memakai pakaian seragam karena kau sendiri sadar, dirimu terlihat tampan jika memakainya.” Sukarno terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Kamu benar, tapi tolong jangan ceritakan keluar.”

Tak hanya Sukarno. Beberapa pemimpin Asia Tenggara yang lain juga punya gaya yang ikonik dalam berbusana. Politik berpakaian memang kerap ditampilkan oleh pemimpin negara di Asia Tenggara, terutama setelah negerinya merdeka dari kungkungan kolonialisme. Jose Rizal pemimpin gerakan nasionalis Filipina dalam berbagai potret acap kali mengenakan jas mantel membaluti tubuhnya. Padahal, suhu musim panas dan musim dingin di negeri itu sesungguhnya tak jauh berbeda. Jas mantel Rizal itu ternyata dibuat di Hong Kong.

Menurut Karim Raslan, jas mantel Jose Rizal mencerminkan simbol perlawanan. Filipina dijajah Spanyol selama empat ratus tahun. Dalam cengkraman Spanyol, orang-orang Indio –penduduk Filipina asli seperti Rizal– begitu terdesak dan terasing. Sementara itu, Jose Rizal adalah segelintir nasionalis Filipina yang terdidik di masanya. Dia adalah seorang dokter-cum-sastrawan yang menulis dua buah novel dalam bahasa Spanyol. Dia juga seorang poliglot yang menguasai delapan bahasa, termasuk Belanda, Yunani, dan Latin.

“Baginya (Rizal), menulis dalam bahasa Spanyol dan memperagakan segala perlengkapan lelaki budiman penghujung era Victoria mengampuhkan rasa kebanggaan nasional,” tulis Karim, jurnalis kawakan Malaysia dan pengamat Asia Tenggara dalam Menjajat Asia Tenggara. Ada lagi Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura periode 1959-1990. Yew terlihat khas dengan kemeja putihnya. Hal ini bisa jadi melambangkan egalitarianisme Lee yang memimpin Singapura dengan berbagai etnis dan kelas sosial di dalamnya (baca: Chemistry Lee Kuan Yew pada Soeharto) “Kesederhanaan jelas kemeja putih itu akan membantu merapatkan sedikit jurang perbedaan etnik,” tulis Karim.

Di negeri Malaysia, pemimpin seperti Tunku Abdul Rahman malah menampilkan gaya berpakaian yang jauh dari kesan sederhana. Tak heran, dia memang putra seorang sultan. Dengan balutan kain sutera dilengkapi selempang dan aneka hiasan, pakaian resminya menyolok mata. Potretnya kini masih terpampang dalam mata uang ringgit. “Pakaian resmi gilang gemilang dan mahal zaman itu mencerminkan ciri feodal yang terus didaulatkan oleh masyarakat Melayu,” tulis Karim.

Sementara itu, Sukarno, menurut Karim, dengan penampilannya juga melambangkan citra diri penuh kebanggaan. Sukarno kerap terlihat mengenakan seragam militer rancangannya sebagai panglima tertinggi lengkap dengan lencana-lencana –kendati dirinya bukan berlatar belakang militer. Tak lupa kaca mata hitam dan tongkat komando dalam kepitan. Dirinya pun tampak semakin sedap dipandang mata dengan peci, ibarat mahkota yang menudungi rambutnya yang mulai menipis.

Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengakui citra dirinya bertujuan untuk meninggikan martabat bangsanya selepas penjajahan. “Indonesia harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka. Saat ini Sukarnolah yang menjadi faktor pemersatu Indonesia.”

(Source: historia.id)