Mencari Solusi Sistem Zonasi PPDB

Mencari Solusi Sistem Zonasi PPDB

Mencari Solusi Sistem Zonasi PPDB; Mulai diterapkan sejak tahun 2017, sistem zonasi pada Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) ditujukan untuk menghapuskan diskriminasi. Kualitas sekolah dapat disamaratakan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ingin PPDB lebih objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, merata, dan berkeadilan.

Dalam praktiknya, sistem ini bertujuan memecah terkonsentrasinya siswa dengan kemampuan akademik, berkumpul di salah satu sekolah tertentu atau favorit.

Berdasarkan modul berjudul Sistem Zonasi yang diterbitkan Kemendikbud, sistem zonasi adalah implikasi perlunya penyiapan sekolah yang sama dan setara mutunya dengan sekolah yang selama ini dianggap unggul atau favorit.

Sistem zonasi PPDB mengatur sekolah negeri milik pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Di sisi lain, sistem zonasi juga menjamin pemerataan akses dan mutu pendidikan yang berkeadilan pada setiap zona atau wilayah yang ditetapkan mendekati tempat tinggal peserta didik.

Kepala Sekolah SMAN 18 Tanjung Priok, Jakarta Utara, Adriansyah mengakui dampak positif diberlakukannya sistem zonasi dalam PPDB. Di Jakarta, kata dia, banyak orang tua yang cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah unggulan meskipun jarak tempat tinggal mereka jauh. Sistem zonasi telah mengubah hal itu.

Adriansyah menyebut, sistem zonasi telah mengubah komposisi siswa di Jakarta. “Dulu orang tua selalu mencari SMA-SMA yang unggulan tertentu di Jakarta. Ini sudah mulai mengubah peta itu dengan komposisi yang ada dengan persentase,” ujarnya ketika diwawancara merdeka.com pekan lalu.

Yang menjadi persoalan kemudian ketika daya tampung satu sekolah tidak mencukupi. Adriansyah menjelaskan, di SMAN 18 Tanjung Priok, hanya bisa menerima 252 siswa baru setiap tahunnya.

Dia mengakui, ada saja orang tua calon siswa yang mencoba mendekatinya. Namun dengan sistem yang transparan melalui PPDB online, Adriansyah menyatakan tidak bisa membantu. Pihaknya hanya akan menerima siswa yang terdaftar melalui sistem.

“Itu yang terdaftar di Dinas Pendidikan nanti dilaporkan kementerian. Jadi nanti dia enggak dapat ijazah kalau lewat belakang,” jelasnya.

“Ya saya bilang, enggak bisa itu kalau sekarang. Mungkin ya kalau zaman dulu. Kalau sekarang kan sudah terbuka. Peraturan lebih ketat dan sekarang sudah terbuka masyarakat bisa melihat semuanya,” ujarnya.

Adriansyah menyatakan, sistem PPDB tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Buktinya, kasus-kasus orang tua protes tidak terlalu banyak muncul. Dia mengakui, ada ketimpangan daya tampung sekolah negeri, dan itu menjadi tugas pemerintah daerah ke depannya.

“Sistem ini kan sebenarnya menjadi upaya pemerataan pendidikan di DKI, artinya usaha untuk semuanya mendapat akses. Kalau sekarang kan berkeadilan walaupun kurang kuotanya jadi memang harus ke arah sana supaya semuanya bisa tertampung terlayani semuanya,” ujarnya.

Zonasi Kacamata Kuda
Pengamat Pendidikan Andreas menilai, salah satu kunci pemerataan pendidikan adalah memperhatikan populasi penduduk di suatu wilayah. Sistem zonasi harus disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Misalnya ada kasus sekolah di Solo yang hanya mendapatkan satu murid baru melalui sistem zonasi. Hal ini terjadi karena zonasi yang diterapkan terlalu sempit. Sementara di sekitar sekolah itu jumlah penduduknya sedikit.

“Sementara yang di kota, jumlah sekolahnya juga tidak terlalu banyak tapi penduduknya padat. Nah ini perlu dievaluasi zonasinya berdasarkan apa. Jadi zonasi itu kita jangan melihatnya seperti kacamata kuda. Ya sudah, kalau zonasinya per kecamatan, per kabupaten, laksanakan. Enggak bisa begitu,” kata Andreas kepada merdeka.com.

Andreas menjelaskan, jumlah penduduk dengan jumlah sekolah negeri saat ini tidak seimbang. Di daerah yang yang sekolahnya negerinya terbatas tetapi jumlah penduduknya padat tetapi kemampuan masuk sekolah swasta rendah, harus dicarikan solusi supaya tidak terjadi penumpukan peserta didik yang umurnya lebih.

“Maka yang seperti ini seharusnya pemerintah menambah sekolah negeri, itu solusi yang menurut saya lebih baik ya. Karena dengan jumlah sekolah negeri yang dinaikkan, peluang masuk untuk sekolah negeri lebih terbuka,” imbuhnya.

Memahami PPDB Zonasi
Anggota Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih menilai, masih banyak yang perlu dibenahi dari sistem zonasi penerimaan siswa baru. Dia juga menyoroti orang tua murid yang belum paham dari perubahan sistem ini.

“Jadi yang pertama, banyak yang tidak paham dengan konsep zonasi yang ada di daerah. Kemudian yang kedua banyak juga berkas-berkas tidak terunggah dengan baik dan ketiga sekarang ini kita sedang menuju ke single ID number itu kan basisnya NIK,” kata Fikri.

Jangankan sistem PPDB, Fikri mengungkapkan, Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, banyak peserta yang dicoret gara-gara tidak sesuai antara mahasiswa dengan NIK-nya.

“Sehingga ini nampaknya juga harus ada koordinasi misalnya Dukcapil karena masa transisi dan perlu edukasi kepada masyarakat. Jangan kaku-kaku lah semua pihak kalau ada masalah di NIK, bagaimana caranya supaya dipermudah mereka,” kata politikus PKS itu.

Fikri menyarankan ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah-perintah daerah untuk merasionalisasikan sistem zonasi PPDB sesuai dengan fakta di lapangan.

Dia mencontohkan, banyak masyarakat di perkotaan yang tempat kerja dan tempat tinggalnya tidak berada dalam satu wilayah. Seperti para pekerja di Jakarta yang tinggal di kota-kota seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Saat anak-anak masuk sekolah, terutama sekolah dasar, para orang tua itu tidak mendaftarkan di lokasi tempat kerjanya, melainkan sesuai domisili.

“Berarti di Jakarta atau di Bandung atau di kota-kota besar tidak begitu relevan kalau kemudian mempertahankan bangun bangunan sekolah dasar. Sudah harus berubah fungsinya mungkin bagaimana caranya sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.

“Jika memang masyarakat situ sudah tidak ada yang butuh sekolah dasar ya sudah, bangunan yang ada dialihfungsikan untuk sekolah menengah misalnya begitu. Ini tapi jangka panjang dan lebih menyeluruh ya bukan masalah PPDB saja tetapi kebijakan pendidikan,” pungkasnya.

(Source: Merdeka.com)