You are currently viewing Resiko Pilkada Saat Pandemi

Resiko Pilkada Saat Pandemi

Resiko Pilkada Saat Pandemi; Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES Wijayanto mengatakan kepercayaan masyarakat dapat turun lebih jauh, jika pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 secara langsung tetap diadakan di tengah pandemi Covid-19. “Setidaknya ada lima resiko yang membayang-bayangi pilkada esok, yakni resiko nyawa, buruknya sosialisasi, tergerusnya trust, kualitas pemilu, dan demokrasi yang buruk,” ujar Wijayanto dalam keterangan tertulis, Kamis, Awal bulan Oktober 2020. Berikut yang telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;

Ia menjelaskan dari hasil survei yang dilakukan LP3ES, sebanyak 74,7 persen publik sepakat agar Pilkada 2020 diundur. Walaupun saat ini pemerintah mengklaim kurva penularan Covid-19 di Indonesia mulai melandai  dalam dua hari ke belakang, hal itu tetap tidak bisa menjadi patokan untuk pengadaan Pilkada 2020 secara langsung. Sebab, kata Wijayanto, pemerintah harus menunggu hingga dua minggu untuk bisa benar-benar mengklaim penularan Covid-19 telah tertangani. “Pilkada adalah proses di mana pemimpin meminta suara rakyat untuk dipilih, maka akan menjadi ironi jika memaksakan pilkada yang dapat menjadi ritual pembunuhan massal,” ujar Wijayanto.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan Pilkada 2020 akan berjalan sesuai jadwal. Dia belum terlintas pikiran agar Pilkada 2020 ditunda meski ia dan anggota KPU lainnya dinyatakan positif Covid-19. “Belum, belum ada pikiran itu,” ujar Arief. Arief berharap pandemi virus corona yang menyerang Indonesia bisa melandai pada Desember mendatang. Meski berada di tengah pandemi, ia berujar seluruh KPU Daerah siap melanjutkan tahapan-tahapan pilkada. Arief dinyatakan positif Covid-19 setelah mengikuti tes usap pada Jumat lalu. Sebelum dia, anggota KPU Evi Novida Ginting juga dinyatakan terinfeksi virus corona. Terbaru anggota KPU RI lainnya, Pramono Ubaid Tanthowi, positif Covid-19.

Pro-Kontra Pilkada Serentak 2020 Tetap Digelar di Tengah Wabah

Pilkada Serentak 2020 tetap akan diselenggarakan pada 9 Desember meski di tengah pandemi Corona (COVID-19). Keputusan ini menuai kritik sejumlah kalangan. Awalnya, Komisi II DPR, Mendagri Tito Karnavian, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat tidak menunda Pilkada Serentak 2020. Kesepakatan itu dibacakan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung selaku pimpinan rapat dalam rapat kerja di Komisi II DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 21 September 2020. “Mencermati seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali, maka Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Ketua KPU RI, Ketua Bawaslu RI dan Ketua DKPP RI menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap dilangsungkan pada 9 Desember 2020,” ujar Doli.

“Dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan COVID-19,” imbuhnya. Hal senada disampaikan juru bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman. Ia mengatakan penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020. Pilkada akan digelar dengan protokol kesehatan yang ketat. Atas kesepakatan itu, sejumlah kalangan angkat suara. Mereka berharap pilkada ditunda karena pandemi Corona belum berakhir.

Berikut kontroversi yang muncul dengan tetap digelarnya Pilkada Serentak 2020 pada Desember nanti:

-GNPF: Jangan karena Anak-Mantu Jokowi Maju

-GNPF-Ulama Sumatera Utara (Sumut), yang sudah melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Medan untuk menuntut penundaan Pilkada Medan, mengatakan akan tetap berjuang agar Pilkada Medan ditunda. “Kita akan terus berjuang sampai akhir, PN kan belum menyidangkan gugatan kita, jadi masih berharap PN berpikir jernih,” kata Ketua Pokja Pilkada GNPF-Ulama Sumut Tumpal Panggabean, Selasa (22/9/2020).

Tumpal menyampaikan harapannya agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memaksakan kehendak sehingga menunda pilkada. Dia menyinggung majunya anak dan menantu Presiden Jokowi yang ikut maju di pilkada. “Kita berharap kepada Presiden Jokowi agar tidak memaksakan kehendaknya. Jangan gara-gara anak dan menantunya maju pilkada, lalu keselamatan orang ramai, keselamatan rakyat, tidak diperhatikan,” ujarnya. Tumpal menjelaskan pihaknya akan tetap melakukan upaya untuk meminta agar pilkada ditunda karena kondisi pandemi virus Corona. Dia mengatakan pilkada ini tetap bisa dijalankan jika vaksin virus Corona sudah ditemukan.

Sindiran GNPF ditepis

Anggota Komisi II DPR Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, yang menegaskan pilkada berlanjut atau tidak, tidak berhubungan dengan anak menantu Presiden Jokowi yang maju di pilkada. “Lanjut atau tidaknya pilkada sama sekali tidak ada hubungan dengan anak-mantu Jokowi yang maju dalam pilkada. Peserta pilkada ada 300-an,” ujar Sodik kepada wartawan, Selasa (22/9/2020). Sodik mengatakan pilkada ini berlanjut diputuskan oleh Komisi II bersama Mendagri Tito Karnavian, KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kesimpulannya, sepakat melanjutkan pilkada dengan beberapa catatan. Catatan lainnya adalah pemberian sanksi, peningkatan sosialisasi, hingga meminta jaringan internet di daerah diperluas untuk keperluan kampanye calon kepala daerah.

-Komnas HAM: Protokol Ketat Itu Seperti Apa?

-Komnas HAM mempertanyakan tata cara pengetatan protokol COVID-19 itu yang diterapkan saat pilkada nanti.

“Yang jelas, dari peristiwa tanggal 4-6 September saat pendaftaran cakada ke KPU, protokol kesehatan itu tidak berjalan. Sekarang ‘protokol yang ketat’ itu seperti apa?” kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab kepada wartawan, Senin bulan lalu. Amir mengatakan Komnas HAM telah meminta agar pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda. Komnas HAM, kata Amir, akan mengawasi penerapan protokol kesehatan saat pilkada. Permintaan Komnas HAM terhadap penundaan Pilkada 2020, kata Amir, berdasarkan data di lapangan. Dia juga menyinggung penyelenggara pilkada yang terinfeksi virus Corona. Namun, Amir mengatakan, pihaknya menghormati keputusan pemerintah yang tetap menyelenggarakan pilkada pada 9 Desember mendatang. Dia mengingatkan bahwa tugas pemerintah adalah menjamin kesehatan warga.

PP Muhammadiyah: Kasihan Rakyat Tanggung Risiko Corona

PP Muhammadiyah meminta agar pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat. “Sebaiknya pemerintah mengkaji dengan saksama kemungkinan penundaan pemilukada sebagaimana disampaikan oleh berbagai elemen masyarakat,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Mu’ti mengatakan kerumunan massa tak terhindarkan dalam tahapan pilkada yang telah dilalui. Selain itu, dia mengungkap sejumlah bakal calon terinfeksi virus Corona. Muhammadiyah kemudian mewanti-wanti perihal penularan Corona terhadap masyarakat. Mu’ti berharap pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat. “Kasihan rakyat jika harus menanggung risiko tertular COVID-19. Ya, semoga pemerintah bisa lebih mendengar,” sebut Mu’ti.

Perludem: Faktanya Protokol Kesehatan Dilanggar

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berharap pemerintah mendengarkan aspirasi untuk menunda pilkada.“Perjalanan pilkada kan masih dalam proses. Saya kira mestinya pemerintah tidak menutup diri atas suara dan aspirasi kelompok besar masyarakat yang sudah menyampaikan seruannya soal penundaan pilkada, seperti NU dan Muhammadiyah,” kata anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini kepada wartawan, Senin (21/9/2020).

Titi kemudian menyinggung pelaksanaan tahapan pilkada. Menurutnya, saat pendaftaran bakal calon ke KPU, masih terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Lebih lanjut Titi menjelaskan skema penundaan pilkada dalam UU Pilkada. Titi kemudian membandingkan skema penundaan pilkada pada UU Nomor 8 Tahun 2015 dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. “Berdasarkan UU Pilkada, terdapat beberapa skema penundaan yang bisa dilakukan. Yaitu penundaan secara parsial daerah per daerah atau penundaan secara menyeluruh di seluruh daerah yang berpilkada (penundaan pemilihan serentak),” sebut Titi. “Penundaan pilkada secara parsial lebih ringkas mekanisme. Proses penundaan parsial ini diputuskan cukup oleh KPU di daerah setempat sebagaimana pengaturan dalam Pasal 122 UU No 8 Tahun 2015,” katanya.

Sementara itu, dalam UU Pilkada Tahun 2020, ada perbedaan penyelenggaraan penundaan pilkada saat pandemi. Pada aturan ini proses penundaan pilkada harus mendapat persetujuan dari KPU, pemerintah, dan DPR. “Sedangkan penundaan pemilihan serentak di seluruh daerah yang berpilkada pada tahun 2020 ini diatur dalam Pasal 201A UU No 6 Tahun 2020, yang mensyaratkan persetujuan KPU, pemerintah, dan DPR,” kata dia. “Penjelasan Pasal 201A ayat (3) menjelaskan bahwa pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) belum berakhir,” sambungnya. Namun, menurut Titi, belum ada pengaturan lebih rinci soal parameter berakhirnya sebuah pandemi. Pada proses Pilkada 2020, kata Titi, keputusan bersama diambil berdasarkan surat rekomendasi dari Satgas COVID-19.

(Source: nasional.kompas.com, news.detik.com)

Leave a Reply