Santri Lawan Ribuan DI/TII: Baku Tembak Sepanjang Malam, Berhenti Jelang Salat Subuh; Dianggap mengkhianati perjuangan membentuk negara Islam, Ajengan Yusuf Tauziri dan santrinya digeruduk ribuan anggota Tentara Islam Indonesia (TII. Malam jumat, 17 April 1952. Begitu gelap meliputi kawasan Cipari, Pesantren Darussalam dibekap sunyi nan mencekam. Rumah-rumah tak lagi berpenghuni.
Sebagian besar orang-orang Cipari malam itu sudah mengungsi ke Masjid Al Syuro yang terdapat di lingkungan pesantren. Menjelang isya, seorang santri memberi kabar: para gerilyawan DI/TII sudah mulai mendekati tempat itu.
“Kami mendengar pasukan DI/TII sudah mendekati Cipari menjelang isya,” kenang Kuraesin, keponakan dari Ajengan Yusu Tauziri.
Senjata di Menara Masjid
Beberapa menit kemudian, dari arah selatan terlihat lidah api menjulur ke angkasa. Suara kentongan bersahutan ditingkahi suara tembakan gencar, membentuk gelombang bunyi yang mengerikan.
Ribuan bayangan berkelebat. Seolah hantu-hantu pencabut nyawa yang tengah memburu mangsanya. Di tengah suara tembakan gencar, terdengar jerit ketakutan para perempuan dan anak-anak.
“Saya ingat sekitar tiga batalyon gorombolan DI (Darul Islam) menyerang pesantren kami malam itu. Di bawah pimpinan langsung Mama Ajengan Yusuf (Tauziri), kami melawan mereka sebisanya,” kenang Syarif Hidayat, saksi hidup peristiwa tersebut.
Demi menghadapi bahaya itu, para santri bersiap. Ajengan Yusuf bergegas ke atas menara Masjid Darussalam. Mereka membawa Luger Paraballum, sejenis pistol semi otomatis buatan Jerman. Di dalam menara sudah tersedia satu peti granat.
“Saat itu para santri hanya memegang tujuh pucuk senjata: lima karaben Jepang dan dua senjata dorlok tua untuk berburu binatang. Memang ada dua peti granat pemberian dari TNI. Tapi itu pun dibagi dua dengan Ajengan yang bertahan di atas menara,” tutur Syarif Hidayat.
Pertempuran tak Seimbang
Pasukan DI/TII yang diwakili Resimen Kalipaksi dan Sapujagat masuk melalui pertigaan jalan raya menuju Cibatu. Lalu bergerak ke jalan perkampungan Desa Cimaragas dan mengarah ke Kampung Cipari.
Sambil bergerak, mereka membakar rumah-rumah penduduk. Begitu mencapai Pesantren Darussalam kontak senjata pun langsung dimulai. Dari atas menara, suara senjata milik Ajengan Yusuf menyalak, suaranya terdengar begitu menyeramkan. Sesekali sang ajengan melemparkan granat tangan ke arah barisan pasukan DI/TII yang tengah membentuk formasi pengepungan.
“Dalam kobaran api yang menghanguskan rumah-rumah, bayangan tubuhnya terlihat dari kejauhan seperti wayang kulit yang bergerak-gerak di layar,” ungkap Kuraesin.
Pertempuran berlangsung tidak seimbang. Namun karena diiringi semangat yang tinggi, para santri dengan menggunakan taktik ‘hanya menembak musuh yang mendekat’ melakukan aksi secara efektif. Dalam situasi seperti itu, senjata yang dipegang Oyoh, salah seorang pengawal Ajengan Yusuf, tiba-tiba macet.
Tanpa mengenal putus asa, dia menenteng dua granat tangan dan melangkah keluar masjid. Dengan gagah berani, dilontarkannya granat-granat itu ke kubu para gerilyawan DI/TII. Namun malang, saat berbalik arah untuk kembali ke masjid sebutir peluru menghantam tubuhnya. Oyoh pun terjengkang dan tewas seketika.
Tembak Menembak Sepanjang malam
Pertempuran baru berhenti menjelang saalat subuh. Merasa tak akan mampu menjebol benteng yang dibentuk oleh santri-santri Darussalam, para gerilyawan DI/TII melakukan gerakan mundur dari Cipari dengan meninggalkan tiga belas mayat rekan-nya di kolam ikan dan sawah milik penduduk. Dari pihak Darussalam sendiri jatuh korban sebelas santri.
“Tembak menembak itu berlangsung sampai pukul tiga pagi dan berhenti menjelang salat subuh,” ungkap peneliti sejarah Hiroko Horikoshi dalam Kiyai dan Perubahan Sosial.
Insiden 17 April 1952, bukanlah serangan terakhir bagi Pesantren Cipari. Hingga 1958, sudah sekitar 50 kali gerilyawan DI/TII berupaya menjebol Masjid Al Syuro, namun selalu berhasil dipukul mundur.
“Meskipun terus diintimidasi oleh DI/TII, Ajengan Yusuf dengan bantuan santri-nya dan penduduk Cipari tak pernah sekalipun mau menyerah,” ujar Syarif Hidayat.
(Source: Merdeka.com)