Aksi Sadis ‘Si Turki’ dan Pasukan Baret Hijau di Tanah Priangan, Ibarat Malaikat Maut

Aksi Sadis 'Si Turki' dan Pasukan Baret Hijau di Tanah Priangan, Ibarat Malaikat Maut

Aksi Sadis ‘Si Turki’ dan Pasukan Baret Hijau di Tanah Priangan, Ibarat Malaikat Maut; Sesudah menebar maut di Makassar dan sekitarnya, Kapten Westerling kembali menjalankan aksi teror-nya di wilayah barat Jawa. Selama tahun 1948, nama Si Werling menjadi momok menakutkan di wilayah Nyalindung, sebuah kota kecil yang berjarak sekira 45 km dari Sukabumi. Menurut Atjep Abidien (96), pimpinan serdadu Belanda itu seolah malaikat maut yang memiliki wewenang untuk menentukan mati hidup seseorang.

“Kalau orang sudah ditatap lama oleh Si Werling yang matanya bagaikan heulang ruyuk (elang Jawa), sudah pasti hidup dia takkan lama lagi,” ungkap mantan gerilyawan republik tersebut.

Werling yang ditakuti para gerilyawan dan rakyat Nyalindung memang tak lain adalah Kapten R.P.P. Westerling alias De Turco’s (Si Turki), komandan Depot Pasukan Khusus (DST) yang pernah menumpahkan darah orang-orang Makassar dan sekitarnya pada akhir 1946 dan awal 1947.

“Pasukan Baret Hijau (DST) yang dipimpin Westerling memang pernah bermarkas di Nyalindung pada 1947-1948,” ujar Yusuf Supardi, eks anggota Divisi Siliwangi yang pernah aktif berjuang di wilayah Sukabumi itu.

Jeritan Perempuan yang Diperkosa
Menurut Remy Limpach dalam De brandende kampongs van General Spoor (Kampung-kampung yang Dibakar Jenderal Spoor), akhir Februari 1947 Westerling dipulangkan dan menempati pos di kembali ke Jawa setelah menyelesaikan operasi pembersihan yang sukses di Sulawesi Selatan.

Belum jelas benar, di mana tepatnya Westerling ditempatkan usai dari Sulawesi Selatan. Yang jelas menurut kesaksian sejumlah pejuang republik, dia selalu terlihat bersama pasukannya di wilayah Jawa Barat. Terutama di wilayah Cianjur Selatan dan Bandung Barat (Batujajar, Cililin serta Gunung Halu)

“Musuh yang kami hadapi adalah KST (pengganti nama DST) pimpinan Kapten Westerling…,” ujar Soegih Arto (eks komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot di wilayah Bandung Barat) dalam otobiografinya, Saya Menulis Anda Membaca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto.

Penjelasan Soegih Arto dibenarkan oleh V.R. Najoan, peneliti sejarah dari Historika Indonesia. Mengacu kepada bukunya Dominique Venner, Westerling: De Eenling (Westerling Sang Penyendiri), Najoan menyebut selain di wilayah Cililin, Batujajar dan Gunung Halu, Westerling pun menyebut pernah beroperasi di Karawang.

“Di kesempatan lain, dia juga menyebut pernah bertugas di Cibarusah (perbatasan Cianjur-Bekasi),” ujar Najoan.

Di Gunung Halu, KST bahkan pernah melakukan praktik kekerasan dan aksi pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan muda. Itu disaksikan Soegih Arto yang saat itu berada di sebuah bukit tak jauh dari lokasi kejadian.

“Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu…” ungkap Soegih Arto.

Perwira Belanda Tak Bisa Dipercaya
Soegih sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya (termasuk anak-anak dan orang tua) persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST.

Tidak terima dengan perlakuan sadis anak buah Westerling itu, pasukan Djaja Pangrerot sempat tergerak untuk melakukan aksi balas dendam. Ceritanya, suatu hari, seorang telik sandi Republik memberitahu Soegih bahwa Westerling akan melewati suatu jalan di Gunung Halu. Maka disusunlah rencana pengadangan.

Begitu tiba waktunya, anak buah Soegih sudah bersiap di suatu bukit kecil. Dari kejauhan tampak sebuah jip militer berjalan dalam kecepatan tinggi. Saat lewat di titik pengadangan, tembakan gencar pun dilepaskan.

Lantas terjadilah pertempuran cukup seru. Namun setelah lama bertempur, Soegih harus menemukan kenyataan Westerling tidak ada di antara para penumpang jip itu.

Karena kerap bentrok dengan pasukan Soegih Arto, nama komandan Batalyon ke-22 Divisi Siliwangi tersebut menjadi akrab di telinga Westerling. Begitu akrabnya, hingga suatu hari Si Turki menyuratinya ingin ngobrol langsung dengan Soegih Arto.

Tentu saja undangan itu ditolak mentah-mentah. Alasannya sederhana, sepanjang sejarah perwira Belanda tak bisa dipercaya dan sering menipu para pejuang Indonesia dalam suatu perundingan.

(Source: merdeka.com)