Cerita di Balik Jenderal Mayor Moestopo Rela Ditembak Bung Hatta; Disebut kepala batu dan berlaku bak seorang ekstrimis oleh Mohamad Hatta, Jenderal Major Moestopo terlibat adu mulut dengan dengan Wakil Presiden RI. Begitu dihadapi oleh para pejuang Surabaya, kejumawaan militer Inggris runtuh sudah. Bukan saja mereka kalah di berbagai medan pertempuran, namun kekuatan mereka hampir saja tersapu bersih. Itu diakui sendiri oleh seorang perwira Inggris dalam buku Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia, 1945-1946.
Menurut sejarawan militer itu, para veteran Perang Dunia II tersebut seolah tak berkutik dalam kepungan arek-arek Suroboyo. Hingga hari akhir Oktober 1945, mereka telah kehilangan ratusan serdadu Inggris, termasuk 16 perwira dari Brigade Infanteri ke-49 Divisi India ke-23 pimpinan Brigadir A.W.S. Mallaby.
“Karena suatu ‘pamer kekuatan’, 427 nyawa dari pasukan yang secara keseluruhan memiliki sekira 4.000 prajurit, melayang begitu saja…” ungkap McMillan.
Siapa di balik perlawanan heroik rakyat Surabaya itu? Dialah Jenderal Major dokter gigi Moestopo. Lelaki kelahiran Kediri pada 1913 bukanlah orang sembarangan. Selain pernah menjadi salah satu lulusan terbaik sekolah calon perwira PETA di Bogor, dia pun termasuk daidancho (komandan batalyon) kharismatik di Jawa Timur.
Berhadapan dengan Moestopo
Moestopo dikenal rekan-rekan seperjuangan dan anak buahnya sebagai sosok komandan cerdas namun nyentrik. Salah satu ‘kegilaan’ itu dia perlihatkan kala secara sepihak mengangkat dirinya sebagai ‘Menteri Pertahanan Republik Indonesia’ saat berhadapan dengan para petinggi tentara Inggris di Surabaya.
“Peristiwa itu menimbulkan sedikit kehebohan…” kata sejarawan militer asal Yogyakarta, Moehkardi.
Inggris yang sadar semakin tak berdaya, mau tidak mau mereka akhirnya harus menggunakan jasa Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta untuk menyelesaikan pertikaian antar dua pihak di Surabaya. Mereka berdua kemudian datang ke kota yang tengah panas itu pada 29 Oktober 1945 dengan menggunakan pesawat Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF).
Sebelum mendarat, Sukarno-Hatta mendengar dari berbagai pihak tentang sepakterjang Moestopo dan tidak sepakat dengan kekeraskepalaan sang pemimpin Pertempuran Surabaya itu yang tidak mau berunding dengan pihak Inggris.
Hatta Jengkel
Namun dibanding Sukarno, Hatta adalah orang yang paling jengkel kepada Moestopo. Begitu jengkelnya, ketika keduanya sempat bersua, Hatta memakinya sebagai ‘ekstrimis’. Soal itu dikisahkan oleh Roeslan Abdoelgani dalam Peristiwa 10 November dalam Lukisan.
Ceritanya, saat Sukarno-Hatta tengah berada di Kegubernuran Jawa Timur, dengan mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala, Moestopo datang menemui mereka.
Kepada sang presiden, Moestopo melaporkan kelicikan-kelicikan Inggris lengkap dengan memperlihatkan bukti-bukti menurut versinya. Di tengah sesi curhat tersebut, tetiba Bung Hatta diiringi Amir Sjarifoeddin dan beberapa perwira Inggris masuk ke ruangan.
Alih-alih menyambut Hatta dan Amir, Moestopo malah menepi ke suatu sudut di ruangan tersebut. Dia kemudian duduk di lantai dalam posisi bak orang yang tengah bersemedi. Melihat itu, Bung Hatta bertanya kepada Bung Karno.
“Siapa orang itu?” bisiknya seraya menunjuk Moestopo.
Begitu dijawab oleh Bung Karno bahwa orang itu adalah Jenderal Major. drg. Moestopo, Hatta tak kuasa lagi menahan rasa kesalnya yang sudah menumpuk kepada orang yang dianggapnya kepala batu dan tak mau mengerti strategi politik pemerintah RI.
Suku Bangsa adalah Pembeda Suatu Golongan Sosial, Berikut Penjelasannya
“Lha, ini dia pemberontaknya, ekstrimisnya!” kata Hatta dalam nada sinis.
Moestopo Debat dengan Hatta
Disebut demikian, wajah Moestopo langsung memerah. Seperti yang dituturkan dalam buku kecil Memperingati 100 Hari Wafatnya Bapak Prof. Dr. Moestopo, sang jenderal mengaku langsung mendatangi Hatta. Begitu berhadapan, dia langsung mengambil sikap sempurna layaknya seorang militer.
“Memang, saya ekstrimis, saya pemberontak. Bukankah lebih baik menjadi pemberontak, mati dalam perjuangan, daripada dijajah bangsa asing lagi?!” jawab Moestopo.
Belum puas dengan kata-kata itu, seraya mengambil ujung bendera merah putih yang berada di dekatnya, Moestopo berseru keapada Hatta:
“Bung, silakan tembak saya di depan para opsir Inggris itu, biar mereka puas. Arahkan mulut senapan itu kepada saya dan semburkan pelurunya begitu saya selesai memberi hormat kepada Bung! Bagi saya, daripada dijajah kembali, lebih baik saya mati, Bung!”
“Tidak!” tiba-tiba Presiden Sukarno berteriak, “Hanya saya Presiden Republik Indonesia yang bisa membunuh Moestopo!”
Selanjutnya, terjadilah perdebatan seru antara Hatta dengan Moestopo. Bung Karno lantas melerainya dan dengan nada lembut berkata kepada Moestopo.
“Sekarang saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta!”
“Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur?! Siapa?!” tanya Moestopo.
“Saya sendiri!” jawab Bung Karno.
Moestopo memberi hormat secara militer lantas berbalik dan pulang menuju rumahnya di Gresik. Sejak itu, wajahnya tak pernah muncul lagi di Surabaya. Dia lebih banyak berkutat di wilayah Yogyakarta dan Bandung Timur. Bahkan terakhir saat Divisi Siliwangi hijrah, dia sempat diperbantukan ke unit tentara asal Jawa Barat tersebut.
(Source: Merdeka.com)