You are currently viewing Enam Bulan Pandemi

Enam Bulan Pandemi

Enam Bulan Pandemi Covid19 dan Prediksi Kedepannya; Indonesia diperkirakan akan mencapai puncak pandemi Covid-19 pada awal 2021. Hal tersebut diungkapkan ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono merujuk kepada tingginya kondisi penularan Covid-19 saat ini. Ia memperkirakan, kondisi tingkat penularan yang tinggi bisa terjadi hingga akhir 2020. “Tingginya potensi penularan yang menyebabkan terus bertambahnya kasus positif bisa saja terjadi hingga akhir tahun. Bahkan bisa sampai ke 2021, hingga puncaknya terjadi tahun depan,” ujar Pandu, Kamis (3/9/2020). Berikut yag telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;

Indikasinya, kata Pandu, hingga enam bulan pandemi berlangsung, belum ada tanda-tanda kasus Covid-19 mengalami penurunan. Bahkan akhir-akhir ini, penambahan kasus justru melonjak dalam jumlah tertinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Menurut Pandu, respons pemerintah terhadap penanganan pandemi harus diubah. Selain fokus kepada pemulihan ekonomi, pemerintah juga disarankan memberi prioritas terhadap penanganan pandemi secara mendasar. “Saat melakukan gas, jangan lupa tetap melakukan rem. Jika tidak, maka pemulihan ekonomi dan penanganan dari sisi kesehatan sama-sama tidak tercapai,” kata Pandu. “Sebaiknya pemerintah secara konsisten melakukan testing, tracing dan isolasi. Tetap menekankan pentingya perilaku pakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak,” tambah dia.

Selang sehari setelah tepat enam bulan pandemi Covid-19, Indonesia kembali mencatat rekor penambahan kasus harian tertinggi pada Kamis (3/9/2020). Pada Kamis, tercatat penambahan kasus baru sebanyak 3.622 kasus yang terhitung sejak 24 jam terakhir sejak Rabu (2/9/2020). Sehingga akumulasi kasus positif Covid-19 pun mencapai 184.268. Selain itu, tercatat total ada 132.055 pasien sembuh dan 7.750 pasien meninggal dunia hingga 3 Agustus 2020. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui beberapa pekan terakhir terlihat peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan. Hal itu menunjukkan pemerintah belum berhasil menekan penularan Covid-19 secara konsisten. “Apa artinya ini semuanya? Ini semua artinya bahwa kita sebenarnya belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten, secara nasional,” ujar Wiku dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Kamis (3/9/2020). Pandu mengungkapkan, masih ada empat provinsi yang menyumbang mayoritas kasus Covid-19 atau sebesar 56 persen.

Keempat provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sejalan dengan peningkatan jumlah kasus positif, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan adanya peningkatan keterpakaian tempat tidur isolasi pada Agustus dan September, jika dibandingkan bulan Juli. Persentase keterpakaian tempat tidur tertinggi berada di provinsi Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan persentase keterpakaian ruang ICU dengan pasien yang dirawat per provinsi paling banyak berada di DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Kalimantan Selatan. “Dalam penanganan Covid-19 ini, Satgas Covid-19 telah berkoordinasi dengan Kemenkes dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), ” kata Wiku. “Secara bersama-sama meningkatkan kemampuan dari rumah sakit, khususnya tempat tidur, isolasi, dan ICU dengan cara redistribusi dari pasien-pasiennya agar tidak melebihi 60 persen,” lanjut dia.

Prediksi yang terus meleset Sejak awal pandemi, sejumlah pihak telah menyusun prediksi dan target penanganan Covid-19. Perkiraan puncak pandemi Covid-19 disebut bisa terjadi pada Juni, ada pula yang memperkirakan pada Juli hingga Agustus. Namun, seluruh prediksi itu meleset. Menurut Pandu Riono, hal itu dikarenakan respons pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 tidak terkoordinasi dengan baik. “Respons pemerintah kita atas pandemi Covid-19 tak terkoordinasi dengan baik. Sehingga sampai saat ini rencana pemerintah meleset semua,” ujar Pandu, Kamis (3/9/2020). Dia mencontohkan, sejak awal pemerintah tidak fokus kepada proses testing menggunakan metode real time PCR. Saat itu, malah marak dilaksanakan rapid test. Padahal, menurutnya metode swab test PCR memiliki tingkat akurasi yang lebih tepat jika dibandingkan dengan rapid test.

Jika metode testing yang dilakukan lebih akurat, penanganan pasien Covid-19 dan pemetaan kasus bisa dilakukan dengan cepat sehingga sebaran kasus bisa ditekan. Selain itu, kata Pandu, pada awalnya pemerintah sempat menganggap memakai masker tidak penting dilakukan. Padahal, menurutnya masker merupakan alat pelindung yang ampuh untuk mencegah paparan droplet dari individu yang terinfeksi Covid-19. Pada akhirnya, saat ini masyarakat masih banyak yang sulit beradaptasi untuk disiplin memakai masker. Kedua kondisi di atas menurut Pandu mempengaruhi banyaknya penularan Covid-19 yang terjadi di masa normal baru. “Sebab sebenarnya, jika masyarakat disiplin memakai masker, menerapkan protokol kesehatan dan didukung testing yang masif, angka positif bisa ditekan,” tutur Pandu.

Namun, saat ini banyak masyarakat yang mulai lalai atau jenuh karena sejak awal pemerintah seakan tidak serius merespons pandemi Covid-19. Pada saat ada kondisi tertentu yang menyebabkan mobilitas masyarakat seperti libur panjang, potensi penularan menjadi lebih besar dan menyebabkan lonjakan kasus konfirmasi positif. “Jika begini, keinginan pemerintah untuk tetap mementingkan sisi kesehatan sambil memulihkan kondisi ekonomi pun lebih sulit,” ujar Pandu. Sementara itu, pakar epidemiologi Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan, puncak penyebaran virus corona di Indonesia sulit diprediksi lantaran data yang selalu berubah-ubah setiap waktu. “Jadi sebetulnya kalau datanya tidak berubah-ubah, akan lebih mudah diprediksi. Yang menyulitkan itu kan karena data yang selalu berubah,” kata Windhu, pada 16 Juli lalu.

Perubahan data, menurut dia, dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), laju pertumbuhan kasus harian relatif dapat dikendalikan. Namun, saat kebijakan itu dilonggarkan untuk memberikan kesempatan agar roda ekonomi kembali bergeliat, laju pertumbuhan kasus harian juga mengalami peningkatan. ” Prediksi itu kan mesti pake asumsi-asumsi, asumsinya kalau keadaannya seperti ini, nanti puncaknya akan kapan, dan turunnya kapan. Tapi kalau datanya berubah, ya harus diulang lagi,” jelas dia. “Ya susah ini, apalagi di negeri seperti kita ini yang kebijakannya terus berubah. Jadi kita enggak tahu kapan akan berakhir,” ucap Windhu.

Pemerintah klaim kasus aktif menurun

Meski kondisi kasus positif masih terus bertambah, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, persentase kasus aktif secara nasional cenderung menurun. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito. Kasus aktif merupakan jumlah individu yang saat ini sedang sakit Covid-19 dan menjalani perawatan di RS atau melakukan isolasi mandiri di rumah. Pada Agustus 2020, kata dia, kasus aktif tercatat sebesar 23,64 persen. Wiku membandingkan dengan persentase kasus aktif pada Maret 2020, yang mana kasus aktif sebesar 91,26 persen. “Pada persentase kematian pun cenderung menurun setelah mencapai puncaknya pada April 2020, yaitu dari 8,64 persen menjadi 4,47 persen pada Agustus,” ujar Wiku dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Kamis (3/9/2020).

Kemudian, persentase kesembuhan nasional juga cenderung meningkat pada Agustus, yang mencapai 72,17 persen dari hanya 3,84 persen pada bulan Maret 2020. Wiku melanjutkan, target ke depannya dalam penanganan Covid-19 adalah melindungi kelompok rentan, penderita komorbid, lanjut usia, termasuk tenaga kesehatan. Kemudian, menekan kasus aktif, meningkatkan kesembuhan, dan menurunkan kematian, lalu meningkatkan testing, tracing dan treatment, hingga melakukan vaksinasi. “Dan meningkatkan interoperabilitas data agar kemampuan kita melihat perkembangan yang ada dengan kasus Covid-19 ini agar cepat dimonitor,” tambah dia.

(Source: Kompas.com)

Leave a Reply