You are currently viewing Mengenang RMP Sosrokartono

Mengenang RMP Sosrokartono

Mengenang RMP Sosrokartono, sosok kakak RA Kartini, tak lepas dari bicara tentang kejeniusannya. Dia dikenal sebagai mahasiswa pertama yang meneruskan belajar ke negeri Belanda. Pria kelahiran 10 April 1877 di Mayong, Kabupaten Jepara wafat pada 8 Februari 1952 dan dikebumikan satu komplek dengan makam Keluarga Sedo Mukti trah Tjondronegara. Juru Kunci makam Drs RMP Sosrokartono, Temu Sunarto mengatakan, bahwa Sosrokartono merupakan mahasiswa Indonesia yang pertama meneruskan pelajaran ke negeri Belanda. Sosrokartono merupakan cendekiawan tamatan Universitas Leiden, Belanda jurusan bahasa dan sastra ketimuran. “Eyang Sosrokartono ini pernah sekolah di Leiden Belanda, mahasiswa pertama orang Indonesia. Eyang Sosrokartono menguasai 36 bahasa, 26 bahasa luar negeri dan 10 dalam negeri. Itu terdiri 26 bahasa asing itu sembilan bahasa asing timur, dan 17 bahasa asing barat,” kata Sunarto saat berbincang dengan detikcom di kompleks Makam Sedo Mukti, Kudus, Kamis (20/8/2020). Sunarto mengatakan, selama perang dunia I, Sosrokartono menjadi wartawan perang pada surat kabar New York Herald, New York Herald Tribune. Kemudian Sosrokartono juga sebagai penerjemah di Wina. Dia juga merupakan ahli bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, negeri Belanda. “Sosrokartono ini lama di luar negeri, kemudian kembali ke Indonesia mau merdeka ini pun Sosrokartono masuk dalam perintis kemerdekaan RI,” kata dia.

Saking lamanya di luar negeri, Sosrokartono juga pernah bekerja di penerjemah di Jenewa untuk kepentingan Liga Bangsa-Bangsa. Sosrokartono menjelajah benua Eropa selama 27 tahun sebelum akhirnya kembali ikut dalam pergerakan orang-orang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. “Masalahnya beliau ini tidak mau dikenal, istilahnya namanya diunggulkan tidak mau. Nanti orang tahu sendiri, karena Eyang Sosrokartono ini merupakan sosok yang jenius sekali,” ujar dia. Sunarto mengungkap, ada ilmu patut untuk diteladani dari sosok Sosrokartono hingga saat ini yakni catur murti. Yaitu penyatuan dari pikiran perasaan, perkataan dan perbuatan. “Ilmu eyang Sosrokartono itu adalah catur murti. Catur itu empat, di dalam tubuh ada empat, yaitu pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan, itu harus lurus dan menjurus huruf alif. Karena beliau ini juga terkenal dengan lambangnya sang Alif, sering menyebut dirinya Joko Pring, Mandor Klungsu,” terang Sunarto.

Mengenang RMP Sosrokartono

Sosrokartono merupakan putra keempat dari 11 bersaudara pasangan RM Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara di tahun 1880-an) dan ibu Ngasirah. Keseluruhan, anak-anaknya yaitu RM Slamet Sosroningrat, Pangeran Sosroboesono, RM Panji Sosrokartono, RA Kartini Djojohadiningrat, R Ayu Ario Kardinah Reksonegoro, RM Sosro Moeljono, R Ayu Soematri Sosrohadikoesoema, dan RM Sosrorawito. Ayahnya Sosroningrat merupakan keturunan Prabu Brawijaya (Raja Majapahit). Tepatnya dari Bupati Demak Raden Ayu Pangeran Ario Tjondronegoro, keturunan dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, putra Adipati Ario Tjondronegoro III Bupati Kudus. “Karena Sedo Mukti (makam) ini tanah milik pribadi Adipati Tjondronegara III karena buyu (eyang Sosrokartono) punya tanah di sini dua hektare. Khusus keluarga, punya anak Tjondrongeara ke-IV Bupati Kudus keempat atau merupakan dari Eyang Sosrokartono,” jelas Sunarto. Hingga kini banyak peziarah yang datang ke peristirahatan terakhir Sosrokartono. Tak hanya dari Kudus, peziarah yang datang ke makam Sosrokartono juga datang dari berbagai kota di Indonesia. “Banyak yang ke sini ziarah ke makam eyang Sosrokartono, dari Kudus luar Kudus banyak. Kadang ada mahasiswa pelajar juga ke sini,” terang Sunarto. Berikut telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang Kulit Asli) dibawah ini;

Wartawan Perang dan Poliglot

Sosokartono seorang poliglot. Selama di Leiden, dia belajar banyak bahasa. Dalam Leiden Oriental Connection 1850-1940, W. Otterspeer menyebut Kartono setidaknya menguasai 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. “Sosrokartono tidak hanya menguasai beberapa bahasa tanah air kita, bahasa modern serta Grik (Yunani) dan Latin, dia juga pandai berbahasa Basken, suatu suku bangsa Spanyol. Pernah dia menjadi juru bahasa dalam bahasa itu,” kata Bung Hatta dalam otobiografinya. Tahun 1917, kala Eropa diguncang Perang Dunia I, koran Amerika The New York Herald Tribune (sekarang menjadi N.Y Herald Tribunne) di kota Wina, Austria, membuka lowongan kerja untuk posisi wartawan perang. Kartono melamar dan lolos ujian saringan memadatkan berita dalam bahasa Prancis sepanjang satu kolom menjadi 30 kata dalam empat bahasa: Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis sendiri. “Agar pekerjaannya lancar dia juga diberi pangkat mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat,” tulis Solichin Salam dalam R.M.P Sosrokartono: Sebuah Biografi.

Dari suratkabar ini, Sosrokartono mendapat gaji sekitar 1.250 dollar. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai seorang miliuner di Wina,” tulis Hatta. Salah satu liputan perang terbaiknya adalah perundingan gencatan senjata antara Sekutu dan Jerman. Perundingan ini menandakan kemenangan Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia I –kemudian dikukuhkan melalui Perjanjian Versailles tahun 1919. Perundingan dilakukan di dalam keretaapi pada 11 November 1918. Keretaapi ini kemudian berhenti di sebuah hutan di daerah Compiegne, Prancis Selatan. Karena bersifat rahasia, lokasi perundingan dijaga hingga radius 1 kilometer. Namun The New York Herald Tribune dapat menurunkan peristiwa bersejarah ini. Pengirimnya memakai kode pengenal “bintang tiga”. Sayangnya, hingga kini liputan Kartono itu sulit ditemukan.

Mengenang RMP Sosrokartono

Setelah itu, Kartono punya pekerjaan lain yang mentereng: penterjemah Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia mengemban jabatan ini selama 1919-1921. “Pada bulan November 1918, kala PD I berakhir, Sosrokartono dipilih oleh Blok Sekutu sebagai juru bahasa tunggal karena dia satu-satunya pelamar yang memenuhi syarat: ahli bahasa, menguasai bahasa-bahasa di Eropa dan bukan bangsa Eropa,” tulis Solichin Salam. Pada 1919 pula Kartono menjadi atase kebudayaan di Kedutaan Prancis di Den Haag. Geram arah politik Liga Bangsa-Bangsa yang tak netral, Kartono memutuskan pulang ke tanah air.

Mandor Klungsu Pulang Kampung

Dalam perjalanan, di atas kapal Grotius, Kartono mengirim surat tertanggal 14 Juli 1925 kepada keluarga Abendanon: ”Karena saya tahu tidak akan mendapat pekerjaan dari pemerintah Hindia Belanda maupun pihak pribumi, saya telah menerima tawaran beberapa suratkabar besar di Eropa untuk menulis tentang Jawa dan tidak menulis mengenai politik. Kemudian saya akan menerbitkan harian yang memberi informasi kepada bangsa saya sendiri mengenai situasi di Eropa dan dikerjakan dengan objektif. Lalu saya juga akan mendirikan perpustakaan yang saya beri nama Panti Sastra yang diperuntukkan bagi sesama bangsa saya.”

Di tanah Jawa, satu per satu rencana itu kandas. Beberapa waktu lamanya, dia tak punya pekerjaan. Tawaran menjadi bupati dan direktur museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ditolaknya. Alasannya, ”Saya mau beristirahat dulu.” Kartono kemudian menemui Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Ki Hajar mengizinkannya membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung dengan nama Darussalam, yang berarti “Rumah Kedamaian”. Atas prakarsa RM Suryodiputro, adik Ki Hajar, dia diangkat menjadi kepala Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional). Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia juga memberi kursus bahasa kepada orang-orang asing. Gerak-geriknya diawasi polisi rahasia Belanda (PID). Pada 1927, dia keluar dari Taman Siswa.

Selang tiga tahun, dia mendirikan rumah penyembuhan dengan nama Dar-Oes-Salam, yang berarti “Tempat yang Damai”, di rumahnya di Jalan Pungkur No. 7 Bandung –sebelum pindah ke Jalan Pungkur No. 19. Kartono menyebut diri Mandor Klungsu –klungsu artinya biji asam. Namun dia punya beberapa nama panggilan: wonderdokter, juragan dokter cai pengeran, dokter alif, Oom Sos, Eyang Sosro, dan Ndoro Sosro. Arah hidupnya tak berubah tiba-tiba. Sejak usia tiga tahun, Kartono sudah memiliki bakat supranatural. Saat tinggal di Jenewa pada 1920, dia juga berhasil menyembuhkan anak seorang kenalan hanya dengan menempelkan tangan di dahi pasien. Hingga akhir hidupnya, dia dikenal sebagai ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Rumahnya tak pernah sepi pasien. Yang datang termasuk tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno.

Mengenang RMP Sosrokartono

Di masa awal pendudukan Jepang, kesehatan Sosrokartono mengalami kemunduran. Separuh badannya lumpuh. Sosrokartono mangkat pada 8 Februari 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Dia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di nisannya tertulis: “sugih tanpa bandha/ digdaya tanpa aji/ nglurug tanpa bala/ menang tan ngasorake (kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan).

(Source: news.detik.com, historia.id)

Leave a Reply