Menguji Rompi Sakti; kisah menarik pengalaman Soekanto ketika menjadi polisi di lapangan. Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi tokoh pejuang yang memperoleh gelar pahlawan nasional tahun ini. Dia adalah kepala kepolisian Republik Indonesia yang pertama dan paling lama (1945—1959). Di bawah kepemimpinannya, kepolisian Indonesia mengalami masa keemasan. Karena kiprahnya dalam membangun dunia kepolisian negeri itulah Soekanto dinilai patut masuk dalam album pahlawan nasional.
Berikut yang telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;
Soekanto merintis karier kepolisiannya sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Berbagai kedinasan digeluti Soekanto. Dari bagian lalu lintas, dia dipindahkan ke bagian reserse, kemudian ke dinas intelijen polisi Hindia Belanda (Politiek Inlichtingen Diens/PID). Dari semua itu, Soekanto paling senang ketika bertugas sebagai Kepala Polisi Seksi IV bagian reserse, di Candi, Semarang. Periode itu berlangsung pada 1933—1934. Sekali waktu di tengah malam, Soekanto, mengadakan inspeksi. Berpakaian preman, Soekanto patroli di sekitar kantornya. Sekonyong-konyong dia menemukan komandan jaga, seorang inspektur berkebangsaan Belanda, sedang tidur terlelap. Soekanto memberinya pelajaran dengan merogoh saku sang inspektur dan mencolong pistolnya. Akibatnya, inspektur itu mendapatkan sanksi atas kelalaiannya dengan penurunan pangkat. Selama menjadi polisi, Soekanto memang dikenal disiplin tanpa ampun.
“Pak Kanto itu disiplin sekali orangnya, bahkan untuk hal-hal kecil seperti kebersihan dia teliti,” ujar Supardi (79 tahun), keponakan Soekanto kepada Historia.
Soekanto juga sering mengunjungi tempat-tempat rawan aksi kriminal. Dia menyamar seperti orang biasa: menggunakan baju dan celana hitam, sarung palekat, serta peci hitam. Tempat yang paling sering dikunjungi adalah lapangan Johar. Penyamarannya sangat rapi, dan sulit dikenal, termasuk oleh anggota polisi sekali pun. Salah satu operasi besar yang sukses ditanganinya adalah mengungkap kasus pembunuhan berencana. Pada suatu malam, saat tengah melakukan tugas rutin di di jalan raya menuju arah Gombel, Soekanto menerima laporan kejadian pembunuhan. Tanpa pikir panjang, Soekanto segera bergegas ke lokasi kejadian.
Di tempat kejadian perkara, didapati seorang pria Belanda bernama Borg tewas sedangkan seorang perempuan dalam keadaan terikat. Anehnya, simpul tali yang melilit perempuan- yang kemudian diketahui istri-nya Borg- itu longgar, seolah diikat sendiri. Istri Borg lantas dibawa ke markas Soekanto untuk dimintai keterangan. Darinya dan seorang saksi, diperoleh kesaksian bahwa Borg dibunuh oleh empat orang komplotan yang melarikan diri ke Pekalongan. Soekanto memburu tersangka pembunuh ke Pekalongan. Berkordinasi dengan Kepala Kepolisian Pekalongan, Komisaris Polisi Klas I, Albergs, operasi penangkapan disusun. Dibantu informasi penduduk desa, rumah yang dicari segera dikepung. Seorang diciduk tanpa perlawanan menyusul kemudian rekannya yang lain. Mereka dimintai keterangan dan mengakui, bahwa sesungguhnya mereka dibayar oleh Ny. Borg untuk membunuh suaminya.
Ternyata motifnya adalah warisan. Tuan Borg telah menandatangani wasiat yang isinya akan melimpahkan seluruh harta kepada istrinya. Rupanya Nyonya Borg tidak sabaran menunggu kematian sang suami hingga menyewa beberapa orang pembunuh bayaran. Keberhasilan Soekanto membongkar kasus pembunuhan itu menorehkan prestasi baginya selama bertugas di Semarang.
“Atas keberhasilannya itu, Hoofd Commisaris memberikan penghargaan sebagai polisi yang cekatan dalam tugas,” tulis Ensiklopedi Kapolri: Jenderal Polisi R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Pada awal 1940, Soekanto dipindahkan ke Kalimantan untuk menjabat Kepala Polisi Banjarmasin. Soekanto juga merangkap jabatan sebagai Ajunct Technisch Leider der Veldpolitie (Wakil Pimpinan Teknis Polisi Lapangan) di Karesidenan Kalimantan Timur dan Selatan. Di Banjarmasin, Soekanto kembali menangangi kasus unik yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat.
Persoalan pertama yang yang dihadapi Soekanto kala bertugas di sana adalah adanya sekelompok orang yang meyakini rompi ajaib yang dapat menjadikan manusia kebal peluru. Soekanto menganggap itu penipuan. Timbul niatnya untuk membuktikan sejauh mana kekebalan rompi anti peluru itu. Anak buahnya diperintahkan mengumpulkan rakyat sebanyak-banyaknya. Rompi sakti tersebut kemudian dikenakan terhadap seekor kambing. Soekanto kemudian membidik sang kambing dengan senapan panjang. Door! Si kambing rebah ke tanah, tergeletak, dan kemudian mati ditempat. Kejadian itu otomatis memupus kepercayaan masyarakat setempat akan rompi sakti yang tahan peluru. Dan selesailah kasus penipuan yang digelisahkan oleh Soekanto itu.
Sebelum Soekanto Jadi Kepala Polisi
Menjadi polisi profesional di zaman kolonial. Melawan di masa akhir pendudukan Dai Nippon. Dengan berpakaian preman, Soekanto kerap mengunjungi tempat-tempat yang dianggap rawan. Tengah malam, sebelum pulang ke rumah, dia singgah ke kantornya. Di ruang penjagaan, dia menemukan komandan jaga, seorang inspektur berkebangsaan Belanda, tidur terlelap. Soekanto ingin memberi pelajaran. Dia merogoh saku sang inspektur dan mengambil revolver. Soekanto juga melaporkan peristiwa itu ke atasannya agar memberikan sanksi. Yang terjadi, petugas itu dipecat dari kepolisian.
Selama menjadi polisi, Soekanto dikenal disiplin tanpa ampun. “Pak Kanto itu sangat disiplin, bahkan untuk hal-hal kecil seperti kebersihan dia teliti,” ujar Supardi (75 tahun), keponakan Soekanto, kepada Historia. Semarang menjadi tempat dinas pertama Soekanto sebagai polisi. Dia mendapat penugasan di bagian yang berbeda-beda, dari lalulintas, reserse, hingga dinas intelijen polisi (PID). Yang disenanginya adalah tugas-tugas reserse. Salah satu yang sukses diungkap adalah kasus pembunuhan seorang pria Belanda bernama Borg oleh istrinya dengan motif mendapatkan warisan. “Atas keberhasilannya, Hoofd Commisaris memberikan penghargaan kepada Soekanto sebagai polisi yang cekatan dalam melaksanakan tugas,” tulis Ensiklopedia Polisi: Jenderal Polisi R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Pada November 1934, setelah setahun di Semarang, Soekanto dipindahtugaskan ke Purwokerto. Di kota ini, dia berdinas di bagian pengawasan terhadap kegiatan kantor-kantor polisi di sekitar Keresidenan Purwokerto. Tak ada peristiwa istimewa yang dialaminya. Empat tahun kemudian dia kembali bertugas di Semarang. Pangkatnya naik setingkat menjadi Komisaris Klass II dan menjabat sebagai Kepala Polisi Seksi IV di Candi. Selain masalah kriminalitas, Soekanto ditugaskan menangkap orang-orang Jerman dan Jepang yang dicurigai sebagai mata-mata. Memasuki tahun 1940, Soekanto diangkat sebagai Ajunct Technisch Leider der Veldpolitie kemudian menjabat wakil kepala polisi di Residensi Kalimantan Timur yang bermarkas di Banjarmasin. Dia juga naik pangkat menjadi Komisaris Klass I, yang disandangnya hingga Jepang datang.
(Source: historia.id)