Proyeksi Indonesia 2023, Cahaya dalam Gelapnya Ekonomi Dunia; Hilir mudik orang lalu lalang di Jalan Kebon Kacang, Jakarta Pusat, tepatnya di dekat mall Grand Indonesia dan Plaza Indonesia. Tua muda, anak-anak, berdatangan tak hanya keluar masuk mal. Melainkan menuju kawasan ‘Food Streat’ yang tak jauh dari pusat perbelanjaan kalangan elite.
Lebih dari 50 kios pedagang kali lima (PKL) berjejer di pinggir jalan. Kios-kios ini tak pernah sepi dari pengunjung. Makin malam, makin ramai, sering kali menimbulkan kemacetan.
Maklum saja, pengunjungnya beragam, dari pegawai sekitar hingga mereka yang sengaja datang jauh-jauh untuk menikmati sajian kuliner jalanan. Mereka bahkan rela antre berjam-jam untuk mencicip menu makanan yang ramai diperbincangkan di jagat media sosial.
Tak hanya warung dan PKL yang ramai. Berbagai restoran di dalam mal juga terlihat ramai pengunjung. Ada yang datang bersama keluarga atau sekedar kawan. Menikmati menu andalan yang jadi jagoan restoran.
Presiden Joko Widodo mengaku senang dengan kondisi ekonomi Indonesia tersebut. Dia mengaku pernah menyempatkan diri melihat aktivitas malam hari masyarakat. Matahari memang sudah tenggelam, namun aktivitas ekonomi terus bergeliat.
“Saya tuh malam-malam lihat-lihat. Senang saya. Warung-warung makan, restoran-restoran buka , mengantre ramai. PKL di jalan juga ramai. Seneng saja,” ungkap Jokowi saat memberikan sambutan di Istana Negara, Jakarta, Senin (19/12) lalu.
Geliat aktivitas tersebut menyiratkan daya beli masyarakat masih tinggi. Tingkat konsumsi yang menjadi salah satu komponen pendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal, saat ini ada ancaman resesi global sudah di depan mata. “Artinya daya beli ini dan ekonomi tumbuh positif,” ungkap Jokowi.
Dalam setiap pidatonya, Jokowi selalu mengingatkan kondisi ekonomi global tahun 2023 tidak akan mudah, suram bahkan gelap. Dampak perang antara Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut tahun depan dan entah sampai kapan. Jika pun perang usai, kondisi ekonomi global tak lantas berubah seketika seperti sediakala.
Belum lagi krisis energi di Eropa serta kembali memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China hingga inflasi yang meningkat tajam di berbagai negara maju. Dunia masih terus dihantui krisis multidimensi sekalipun Indonesia telah berupaya pulih dari pandemi Covid-19. Memang sudah mulai membuahkan hasil namun ternyata capaian itu masih menyisakan dampak lanjutan beberapa tahun ke depan.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut tahun depan Indonesia akan mengakhiri masa inflasi rendah. Harga-harga pangan dan energi diperkirakan akan semakin mahal. Bahkan Indonesia berpotensi mengalami kenaikan inflasi hingga 5,5 persen tahun depan. Hal ini sebagai mana yang diramalkan beberapa lembaga internasional. Bank Dunia meramal inflasi Indonesia tahun 2023 sebesar 4,5 persen, IMF 5,5 persen dan ADB memperkirakan 5,0 persen.
Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah belum lama ini menjadi indikasi mahalnya harga pangan di tahun depan. Menjelang akhir tahun pemerintah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton beras lewat Perum Bulog.
“Indikasi impor beras yang dilakukan pemerintah mengantisipasi gejolak harga pangan tahun depan,” kata Bhima.
Tekanan inflasi yang tinggi juga masih akan dialami banyak negara. Sebagaimana ADB yang memproyeksikan tingkat inflasi di Asia bisa mencapai 4,2 persen. Tercatat ada negara yang juga akan mengalami tingkat inflasi lebih tinggi dari Indonesia, yakni India (5,8 persen), Singapura (5,5 persen), dan Malaysia (5,0 persen).
Meski begitu pemerintah optimis tingkat inflasi bisa terkendali dan Indonesia masih lebih baik dibanding negara tetangga. Dalam asumsi makro UU APBN 2023, pemerintah telah menargetkan tingkat inflasi dikisaran 3,0 persen sampai 3,6 persen.
Dalam laporan CORE Economic Outlook 2023 tingkat inflasi Indonesia akan lebih rendah dari tahun ini karena pengetatan moneter yang sudah dimulai sejak triwulan keempat tahun 2022. Harga komoditas non energi juga mengalami pelemahan dan rencana pemerintah untuk lebih mengendalikan harga barang-barang yang diatur pemerintah menjelang tahun politik.
Tingkat inflasi tersebut tidak akan banyak mengganggu tingkat konsumsi rumah tangga berpendapatan menengah atas. Sebab mereka ini menjadi penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga secara agregat.
Namun demikian, daya beli 40 persen penduduk berpendapatan terendah tetap akan tergerus inflasi. Demikian juga halnya dengan mobilitas jarak jauh yang diprediksi masih akan tertahan pemulihannya akibat tekanan inflasi.
Mengandalkan Konsumsi Rumah Tangga
Sementara itu, selama 3 tahun terakhir pemerintah telah membatasi aktivitas masyarakat demi mencegah penularan yang dalam waktu bersamaan harus melakukan penanganan. Ketika kasus makin terkendali, perlahan aktivitas warga ini dilonggarkan. Semakin terkendali kasus, makin longgar kebijakan mobilitas. Kondisi ini pun mendorong pertumbuhan ekonomi pulih.
Sayangnya, kondisi permintaan yang tinggi menjadi buah simalakama. Permintaan yang sedikit demi sedikit meningkat hingga mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi ternyata tidak dibarengi dengan kesiapan dari sisi suplai. Sehingga dunia dihadapkan dengan ancaman inflasi yang tinggi. Adanya permintaan barang dan pemulihan ekonomi yang tidak diimbangi oleh kesiapan pasokan akhirnya menyebabkan banyak harga komoditas melonjak tinggi.
Kondisi ini masih akan terus berlangsung tahun 2023. Awan hitam ekonomi global tahun depan masih akan menghantui semua negara. Berbagai lembaga internasional telah melakukan revisi pertumbuhan ekonomi dunia dan tiap negara pada tahun 2023. Tak terkecuali Indonesia yang juga pertumbuhan ekonominya direvisi ke bawah.
Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 menjadi 4,8 persen dari sebelumnya tumbuh 5,2 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) juga mengoreksi ke bawah menjadi 5,0 persen dari 5,3 persen. Bank Pembangunan Asia (ADB) juga menurunkan proyeksinya menjadi 4,8 persen dari 5,0 persen. Pun dengan OECD yang turun menurunkan proyeksinya menjadi 4,7 persen dari 5,3 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menilai proyeksi lembaga-lembaga tersebut tetap mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia akan yang gagah dibandingkan negara lain. Sebab masih dalam rentang pertumbuhan 4,7 persen – 5 persen.
“Namun dalam semua koreksi masih 4,7 persen sampai dengan 5 persen,” ungkap Airlangga di Hotel Ritz Calton, Jakarta Selatan, Rabu (21/12) lalu.
Laporan yang dirilis ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara kawasan ASEAN. Pada September 2022 lalu, diproyeksikan ekonomi kawasan ini pada 2023 akan tumbuh 5,0 persen, tetapi diturunkan menjadi 4,7 persen. Koreksi ke bawah ini pun menunjukkan negara-negara anggota ASEAN juga diturunkan.
Ekonomi Malaysia diramalkan tumbuh 4,7 persen dikoreksi menjadi 4,3 persen. Singapura dari tumbuh 3,0 persen menjadi 2,3 persen, Thailand dari tumbuh 4,2 persen jadi 4,0 persen. Begitu juga dengan Filipina ikut terkoreksi dari tumbuh 6,3 persen jadi 6,0 persen dan Vietnam dari 6,7 persen jadi 6,3 persen.
Koreksi yang sama juga dilakukan ADB kepada negara Asia Timur yang menjadi negara tujuan perdagangan internasional Indonesia. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China terkoreksi dari tumbuh 3,7 persen menjadi hanya tumbuh 2,9 persen tahun depan. Korea Selatan juga terkoreksi dari 2,3 persen jadi 1,5 persen. Pertumbuhan ekonomi India juga terkoreksi dari 6,3 persen menjadi 6,0 persen saja di tahun depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun masih optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan tetap masih kuat. Sebagaimana dalam asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2023, ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh 5,3 persen, tetap kuat dibandingkan negara anggota G20.
Senada, Bank Indonesia optimis pertumbuhan ekonomi pada 2023 tetap kuat dan mampu tumbuh mencapai 5,3 persen. Bahkan, akan terus meningkat menjadi 5,5 persen pada 2024.
“Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3 persen, dan akan terus meningkat menjadi 4,7-5,5 persen pada 2024,” kata Perry dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Selasa (20/12) lalu.
Pertumbuhan ekonomi tahun depan didorong konsumsi rumah tangga, investasi, dan tetap positifnya kinerja ekspor di tengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Direktur Eksekutif Segara Institute, Pieter Abdulah memperkirakan konsumsi rumah tangga tahun depan masih akan tumbuh positif. Angka ini akan kembali pada level jangka panjang seperti sebelum terjadi pandemi di kisaran 5 persen.
“Diperkirakan kembali ke level jangka panjangnya di kisaran 5 persen,” kata Pieter saat dihubungi merdeka.com.
Namun kondisi ekonomi global yang redup tahun depan tetap harus diantisipasi pemerintah. Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad mengingatkan pemerintah harus bisa memanfaatkan berbagai momentum untuk mendorong konsumsi masyarkat. Semisal dari menjelang libur akhir tahun 2022 yang dampaknya masih akan terasa hingga awal tahun 2023.
Kelompok masyarakat kelas menengah atas harus menjadi sasaran pemerintah. Mengingat aktivitas konsumsi yang dilakukan mereka memiliki efek domino ke berbagai sektor.
“Mereka bisa liburan tahun baru sehingga sumbangan konsumsi rumah tangga tetap tinggi,” kata Tauhid.
Selain itu, Bhima menilai pemerintah juga bisa memperkuat sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan cara memberikan skema subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kemudian mengarahkan belanja pemerintah untuk membeli produk UMKM. Sebagai diketahui, dalam krisis apapun, setor ini telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Pemerintah harus memperbaiki serapan belanja pada jenis belanja produktif dan memangkas program kerja yang banyak menghabiskan dana namun dampaknya kurang terasa bagi ekonomi hingga masyarakat. “Megaproyek dan belanja birokrasi dipangkas,” katanya.
Pemerintah juga bisa mempercepat program-program penanganan perubahan iklim. Selain bisa memitigasi bencana yang mungkin terjadi, sektor ini juga bisa membuka lapangan kerja baru. Sehingga bisa banyak menyerap tenaga kerja.
Dia meminta pemerintah memberikan stimulus fiskal dan non fiskal melalui paket kebijakan. Termasuk insentif lebih besar ke sektor pertanian untuk pengendalian inflasi dan relaksasi tarif PPN.
Ancaman 2023 dan Peluang Indonesia
Manisnya cuan dari ekspor komoditas perlahan mulai akan berkurang di tahun 2023, utamanya komoditas batubara dan CPO. Sehingga bisa menekan surplus neraca perdagangan dan terancam mengakhiri masa keemasannya.
“Bahkan neraca dagang kita bisa berubah menjadi defisit,” kata Bhima.
Hal senada juga diungkapkan Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy. Penyempitan surplus ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Indonesia seperti Amerika, China dan Eropa yang diramal akan mengalami perlambatan di triwulan IV dan tahun depan.
“Hal ini akan menyebabkan penurunan permintaan barang ekspor Indonesia ke negara mitra dagang,” kata Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy saat dihubungi merdeka.com.
Penurunan tersebut tidak hanya terjadi bagi Indonesia. World Trade Organization (WTO) juga memproyeksikan volume ekspor global pada 2023 hanya tumbuh sekitar 1 persen. Komoditas ekspor yang diprediksikan akan turun di antaranya tekstil dan alas kaki yang banyak diekspor ke negara-negara maju khususnya Amerika. Hal yang sama terjadi pada produk makanan dan minuman yang banyak diekspor ke Uni Eropa.
Di sisi lain kinerja impor diprediksi justru tetap kuat. Permintaan domsetik yang kuat dan masih bertumbuhnya geliatnya sektor manufaktur di triwulan III tahun ini, masih memberikan harapan bagi impor bahan baku/penolong yang meningkat di triwulan IV dan tetap di tahun depan.
“Kondisi ini akan berdampak terhadap menyempitnya surplus perdagangan, dikarenakan ekspor yang trennya turun sedangkan tren impornya cenderung tetap,” kata dia.
Suramnya ekonomi global tahun depan juga mengancam kenaikan angka pengangguran di Indonesia. Tak bisa dipungkiri terganggunya ekonomi dunia bisa meningkatkan angka pengangguran dan menciptakan orang miskin baru. Pasca pandemi tantangan resesi memberikan dampak pada pelemahan daya beli. Termasuk makin kompetitifnya pasar tenaga kerja.
“Perlu diwaspadai gelombang PHK di sektor tradisional dan digital yang berlanjut,” kata Bhima.
Meski begitu, peluang kinerja impor tahun depan dipercaya akan tetap kuat dan mengindikasikan indeks PMI Manufaktur Indonesia masih akan berada pada level ekspansif atau di atas 50 persen. Artinya sektor manufaktur yang padat modal ini masih bisa mempertahankan tenaga kerjanya untuk tidak melakukan pemberhentian hubungan kerja (PHK) massal.
Yusuf mengingatkan tidak semua sektor akan melakukan pemecatan dalam jumlah besar-besaran. Dia melihat PHK massal di startup lebih banyak didominasi oleh efisiensi dalam konteks mendorong keuntungan yang lebih tinggi untuk beberapa perusahaan. Sementara di industri manufaktur selain efisiensi juga dipengaruhi oleh penurunan permintaan terhadap produk barang yang mereka produksi. Sehingga tolak ukurnya sangat relatif dan akan ditentukan oleh kondisi pemulihan ekonomi tahun depan.
Sebagaimana pola yang pernah dilalui pada masa-masa sebelumnya, ketika pertumbuhan ekonomi terjadi, sebenarnya ada peluang ekonomi melakukan ekspansi. Sehingga investasi masuk dan bisa mendorong penyerapan angkatan kerja dalam jumlah yang lebih besar.
“Namun pertanyaannya adalah ekspansi ekonomi yang terjadi apakah terjadi di sektor yang punya serapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar atau tidak,” ungkap Yusuf.
Bicara soal investasi, kontribusinya telah terbukti bisa menopang pertumbuhan ekonomi saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia tahun 2020 lalu. Bahkan menjadi kontributor terbesar kedua setelah konsumsi rumah tangga.
Laporan yang dibuat CORE Indonesia menyebutkan, investasi langsung akan menjadi sumber pertumbuhan terbesar kedua setelah kinerja ekspor melemah. Peningkatan penanaman modal tetap bruto (PMTB) terjadi terutama pada sektor sekunder (manufaktur) dan sektor jasa.
Peningkatan PMTB manufaktur terutama didorong oleh terus berkembangnya industri hilir turunan komoditas tambang seperti nikel yang digalakkan oleh pemerintah. Terlebih pemerintah makin serius dalam melakukan hilirisasi produk tambang lainnya dengan melarang ekspor bauksit mentah per Juni 2023 mendatang.
Sektor pertambangan yang tahun ini mengalami peningkatan investasi secara signifikan baik investasi asing maupun domestik. Diproyeksikan tahun depan tetap akan menarik investor untuk berinvestasi di sektor tersebut. Terutama untuk pertambangan nikel yang saat ini sudah memiliki road map hilirisasi yang jelas ke depannya.
Sementara PMTB di sektor jasa berkembang sejalan dengan semakin terkendalinya pandemi dan meningkatnya mobilitas masyarakat. Di sisi lain permintaan domestik yang masih kuat memberikan optimisme investor untuk terus menanamkan modalnya di Tanah Air. PMI Manufaktur Indonesia juga masih berada di level ekspansif yakni 50 dan jumlah kredit investasi yang mulai meningkat kembali e level pra pandemi.
Selain itu, pemerintah juga masih akan terus menggenjot pembangunan infrastruktur. Dari sisi anggaran pun alokasinya meningkat hingga 7,8 persen. Sehingga mendorong investasi ke sektor pembangunan dan turunannya seperti konstruksi, listrik, air dan gas, transportasi, gudang dan komunikasi.
Meskipun ekspansi, pertumbuhan PMTB tahun depan diprediksi melambat secara year on year. Faktor penghambatnya karena ketidakpastian global dan faktor domestik seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, normalisasi kebijakan fiskal dan moneter, dan kenaikan biaya produksi (bahan baku, energi, logistik, buruh). Selain itu, masih berstatus inkonstitusional bersyaratnya UU Cipta Kerja juga diprediksikan akan mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.
(Source: Merdeka.com)