Terselamatkan Oleh Sakit Perut; Suatu hari di tengah Pertempuran Surabaya semasa Perang Kemerdekaan. Sulistina, istri Bung Tomo, diperintahkan atasannya di palang merah agar ke Rumahsakit Simpang. Dia pun bergegas dengan menumpang truk yang mengangkut pemuda-pejuang. Sulistina duduk tepat di samping sopir. Dalam perjalanan, tiba-tiba tengkuknya merasa dingin karena tersentuh benda yang tak diketahuinya. Setelah dia menoleh ke belakang, ternyata benda itu adalah laras sebuah pistol. Sulistina kaget.
“Aku tak tahu siapa yang sembrono menggenggam pistol, tetapi larasnya mengenai kudukku. Aku berteriak. ‘Eee…Bung!’ pistolnya jangan diarahkan kepadaku! Tapi pada musuh!’’ kata Sulistina dalam memoarnya, Bung Tomo Suamiku. Teguran Sulistina membuat kaget pemilik pistol yang langsung menarik pistolnya. Setelah dilihat Sulistina, ternyata orang yang membawa pistol itu Bung Tomo.
Sulistina akhirnya mencapai rumah sakit yang dimaksud dan menjalankan tugasnya. Esok paginya, dia kembali ke rumahsakit, RS Sepanjang. Sulistina kebagian tugas mengantar satu truk orang-orang yang terluka. Di dalam perjalanan dia mendapati seorang ibu terluka yang menangis. Ibu itu menangis bukan karena lukanya, tetapi karena mengkhawatirkan anaknya yang terpisah saat ada serangan udara. Sulistina pun menenangkannya.
Selesai menenangkan si ibu, Sulistina menoleh ke kiri. Dia mendapati seorang pria tertidur terlentang dengan tubuh penuh perban. Setelah membetulkan letak kakinya, Sulistina merasakan kaki pria tersebut sudah dingin dan kaku. Sulistina pun mafhum pria tersebut telah meninggal sehingga mendoakan sekadarnya.
Kondisi tersebut menjadi gambaran umum penduduk Surabaya tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, saat menyambut kedatangan pasukan Inggris. Sesuai perjanjian Potsdam, Inggris ditugaskan memulihkan status quo dan melucuti persenjataan pihak pemuda. Hal itu mendapat tantangan dari berbagai badan perjuangan di Surabaya. Para pemuda Indonesia menganggap negerinya sudah merdeka sehingga tak rela dilucuti dan diperintah orang asing. Lantaran perundingan antara pimpinan pasukan Inggris dengan Gubernur Suryo dan Residen Sudirman tak mendapatkan titik temu, kedua belah pihak pun menuju pertempuran.
Pada 28 Oktober 1945, pemimpin umum Pemuda Republik Indonesia Sumarsono memberikan pidato radio yang menyerukan komando agar para pemuda bersiap angkat senjata melawan pasukan Inggris. Pidato serupa diikuti Bung Tomo beberapa saat kemudian.
“Berpuluh-puluh pemuda di kampung bersiap siaga. Jika di medan pertempuran membutuhkan tenaga bantuan, pemuda-pemuda tersebut segera mengangkat senjata, berangkat dengan senyuman, seolah-olah mereka menuju ke pesta perkawinan. Tidak jarang dalam pasukan kampung seperti itu ikut serta seorang atau dua orang yang telah lanjut usia,” tulis Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah. Bahu-membahu dalam perjuangan itu tak ingin dilewatkan oleh kaum perempuan. Gadis hingga ibu rumah tangga berbaur mendirikan dapur umum dan menjadi anggota palang merah. Di antara yang paling populer adalah dapur umum dan Palang Merah 45 yang didirikan Lukitaningsih. Berikut yang telah dirangkum Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;
“Para ibu dengan bangga dan prihatin mengikuti segenap peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Kaum perempuan kampung umumnya giat menceburkan diri di dapur umum atau pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K),” sambung Bung Tomo. Kedudukan dapur umum dan palang merah sejajar dengan front-front pertempuran. Maka ketika kedudukan kaum perjuangan semakin terdesak ke pinggir, palang merah tempat Sulistina bergabung pun ikut bergeser. Mereka kemudian menyingkirkan markas ke SMA Darmo. Namun karena musuh semakin dekat, mereka terpaksa menyingkir kembali.
Dalam keadaan itulah pada suatu pagi Sulistina dan enam rekannya kembali mendapat tugas mengambil makanan untuk dibagikan ke front. Namun sial, pagi itu perut Sulitina “tak bersahabat”. Hal itu membuat seorang rekannya sampai mengatakan agar perut Sulistina hendaknya tahu diri dalam situasi genting seperti itu. Ucapannya itu bahkan diulangi lagi ketika si kawan sampai di halaman. Setelah melambaikan tangan ke Sulistina, kawan itu pun bergabung dengan lima rekan lain yang dibantu beberapa pemuda yang sudah di truk.
Sulistina sendiri gagal ikut tugas mengambil makanan itu. Dia terpaksa menjaga markas. Dia langsung masuk usai mengantar temannya ke halaman. Tiba-tiba, suara menggelegar mengagetkannya. Secara refleks dia langsung merebahkan diri. Begitu sudah dianggap tenang dan aman, Sulistina langsung keluar untuk mencari tahu. “Ah, sebuah mortir meledak 3 meter di depan truk yang membawa kawan-kawanku. Dua gadis PMI gugur, tiga luka-luka, entah yang lainnya,” kata Sulistina.
Sulistina langsung membatu rekan-rekannya. Yang luka-luka dibawa ke rumahsakit Belanda. “Aku berterima kasih pada TUHAN karena memberiku penyakit perut. Kalau tidak, akupun seperti kawanku yang gugur dan luka, meskipun aku sudah ikhlas apapun yang terjadi di medan perang terhadap diriku tetap aku terima,” kata Sulistina.
Pernikahan Bung Tomo Saat Perjuangan Kemerdekaan
DI masa revolusi, para pemuda menempatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) di atas kepentingan diri sendiri. Revolusi menuntut pengorbanan segala-galanya, termasuk perkawinan sebagai “kenikmatan” pribadi. Tak heran jika mereka kerap jengkel melihat iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di suratkabar.
“Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Sorotan pun dialamatkan kepada Bung Tomo, tokoh pemuda dan penyulut semangat pertempuran Surabaya, ketika hendak menikah di masa revolusi. Muncul pro dan kontra. Ada yang menyayangkan mengapa Bung Tomo tidak konsekuen dengan janjinya untuk tidak menikah sebelum perjuangan selesai.
“Kami dapat menerima kekecewaan ini,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku, “tetapi tak dapat menjelaskan secara pribadi apa yang menjadi pertimbangan pernikahan kami.” Sejatinya, Bung Tomo juga memiliki perasaan bersalah. Untuk itu, dia meminta izin dan persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
Dalam iklan perkawinan Bung Tomo dengan Sulistina di harian Boeroeh, 16 Juli 1947, pucuk pimpinan BPRI menyetujui perkawinan itu pada 19 Juni 1947, dengan perjanjian: “Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi; meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.”
Iklan tersebut, menurut Soe Hok Gie, memperlihatkan Bung Tomo merasa berdosa karena perkawinannya dilangsungkan di tengah suasana revolusi. Seolah-olah dia hanya mencari kenikmatan pribadi. Mereka kemudian berjanji tidak akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri sampai ancaman terhadap kedaulatan berakhir.
“Kami harus berjanji melaksanakan dengan patuh, syarat ini demi keselamatan negara,” kata Sulistina. Menurut kepercayaan orang-orang tua, bila pemimpin pasukan atau negara menikah di masa perang, pantang baginya melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari. Jika dilanggar akan ada medan perang yang dibobol musuh. “Entah dari mana tradisi itu, namun demi keselamatan negara kami berjanji akan mematuhi,” kata Sulistina. Bung Tomo pun meyakini kepercayaan tersebut dan meminta kepada istrinya, “kita jalani puasa 40 hari ini ya. Demi keberhasilan perjuangan.” Sulistina mengangguk. Akhirnya, masa puasa 40 hari itu berlalu. Sehari sebelumnya, Bung Tomo memberikan sebuah buku kepada istrinya: Kamasutra.
(Source: historia.id)