Pulihkan Psikologi Penderita Corona; Untuk sembuh dari Covid-19, pasien tidak hanya membutuhkan perawatan medis, tetapi juga perawatan psikologis. Oleh karena itu, perawatan-perawatan psikologis juga penting untuk diberikan pada pasien Covid-19. Psikolog Edward Andriyanto Sutardhio menyampaikan, pentingnya memiliki psikologi yang baik untuk membangun hormon-hormon positif dalam diri kita yang juga dapat membantu kita untuk pulih dari Covid-19. “Kita fokus untuk biasanya ada pendampingan-pendampingan psikologis, dimana dia ada bisa mengeluarkan kekhawatirannya, ketidaknyamanannya, dan di situ biasanya kita melakukan yang umum disebut sebagai psychological first aid, pendampingan psikososial dimana kita membantu mereka untuk memikirkan hal-hal yang jangka pendek, tapi lebih positif,” ujar Edward saat melakukan diskusi virtual di siaran langsung Youtube BNPB Indonesia pada Senin (19/10).
Pada kesempatan ini, Edward menjelaskan, tekait hal-hal yang dapat membantu pasien Covid-19 untuk merasa lebih baik lagi secara psikologinya. Di antaranya, menentukan goals jangka pendek. Salah satu caranya adalah dengan menentukan tujuan atau goals-goals jangka pendek yang ketika tercapai dapat memberikan perasaan sukses pada pasien. “(Goalsnya) itu enggak bisa ‘pokoknya saya harus pulang’. Nggak mungkin, terlalu panjang (jalannya). Jadi kita biasa setting ke tujuan-tujuan yang lebih pendek sehingga feel of success dia bikin dia lebih semangat, stressnya turun dimana imunitas (bisa) tubuhnya melawan virus itu,” ujarnya. Berikut yang telah dirangkum Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;
Pikiran Fokus
Selanjutnya dengan menentukan fokus pikiran yang tepat bagi pasien Covid-19. Fokus tersebut sebaiknya ditujukan pada sekelilingnya saja dan tidak perlu berpikir terlalu jauh. “Kita biasa fokus pada hal-hal yang di sekeliling dia, bukan soal ‘entar kerjaan gimana ya?’, ‘nanti kalau saya enggak digaji gimana ya?’, jadi fokus pada apa yang di sekeliling dia saat ini. Nah ini biasanya kita minta batasi hubungan dari kantor, dari tempat-tempat lain. Karena memang penting buat dia untuk fokus pada tujuan dia yang terdekat, yang ada di dirinya sendiri bahwa ‘saya hari ini sembuh’,” katanya lagi.
Edward juga mengatakan, hal menarik lain terkait manfaat dari suara orang yang dikasihi terhadap pasien. Ia menyebutkan ada riset dari China yang mengatakan ketika seseorang yang sedang sakit diperdengarkan suara kerabatnya, maka pemulihannya menjadi lebih baik. “Dulu penelitian bilang sentuhan fisik itu membantu untuk kita punya zat hormon-hormon yang positif sehingga kita cepat pulih. Ternyata penelitian yang sekarang, dikaitkan dengan covid, suara saja tanpa perlu menyentuh itu sudah membangunkan hormon-hormon yang positif. Jadi riset yang dulu sentuhan, sekarang lebih updatenya suara orang yang kita kasihi. Jadi bukan asal suara ya, (tapi) suara orang yang kita kasihi,” tutur dia.
Edward mendorong pasien Covid-19 untuk melakukan segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi diri mereka masing-masing. Hal yang bermakna ini dapat terdiri dari berbagai bentuk seperti kehadiran keluarga, pekerja, dan lain-lain. “Lakukan sesuatu yang bermakna, cari sesuatu yang sangat bermakna. Dalam hal ini sering kali kita dapatnya ke keluarga (yang bermakna). Tapi tentu setiap orang punya ragam yang berbeda-beda, ada yang ke kerjaan, ada yang hal lain. Tapi bukan menuntut diri tapi mendorong,” tambah dia. “Jadi kalau memang kebermaknaannya ada di tempat kerja, maka kita harus bangkitkan lagi semangatnya ke arah sana. Tapi tidak memberikan tuntutan. Jangan membebani diri,” jelas Edward.
Menolong Orang
Uniknya, menolong orang lain juga bisa menjadi salah satu hal bermakna bagi seseorang. “Menolong orang lain itu adalah salah satu aktivitas yang biasanya juga kita dorong buat teman-teman kita yang depresi, kecemasan tinggi. Karena itu boosting emosi positifnya dia. Coba kalau kita habis kasih tempat duduk ke orang yang tidak bisa berdiri terlalu lama misalnya nenek-nenek, ibu hamil, kakek-kakek. Emosi kita akan sangat positif apabila setelah kita memberikan,” tutur dia.
Jika para dokter dan tenaga medis memiliki 3M yang harus diikut agar dapat terhindar dari Covid-19, psikolog memiliki 3K untuk membantu para pasien Covid-19 untuk bisa berpikir lebih positif sehingga dapat memperbaiki kondisi tubuhnya. “Kita punya 3K, yang pertama adalah kaji informasi. Kaji informasi yang masuk (maksudnya) jangan hanya lihat data berapa yang nambah (jumlah positif), berapa kematian yang ada hari ini. Tapi lihat, agar kita boosting emosi yang positif, lihat berapa yang sembuh hari ini, berapa banyak,” lanjut Edward.
“Kelola emosi. Hanya pikirkan apa yang perlu dipikirkan hari ini. Relaksasi, tenangkan diri, kontak orang-orang yang positif, dan (K) yang terakhir adalah kembangkan sumber daya. Jadi kalau membantu orang lain membantu saya menjadi punya sumber daya, dengan mendoakan orang lain saya menjadi (merasa) lebih baik, ya lakukan itu. Kalau kita punya keluarga yang membuat kita lebih tenang, hubungi dia. Jadi itu sumber daya-sumber daya yang banyak di sekeliling kita,” tutup Edward.
Cara Psikolog Pulihkan Kondisi Psikologis Pasien Corona
Selain fisik, kondisi psikologis pasien corona atau Covid-19 ikut terganggu sampai ada pasien di RSPI Sulianti Saroso yang mengalami depresi. Pihak RSPI pun memberikan pendampingan psikolog terhadap semua pasien Covid-19. Psikolog Klinis di RSPI Sulianti Saroso, Barita Ulina mengatakan, pendampingan psikolog terhadap semua pasien Covid-19 di RSPI, menggunakan langkah konseling dan terapi. Menurut dia, upaya tersebut dilakukan melalui intercom monitor, telepon atau kontak langsung dengan pasien jika dinyatakan aman. “Pada dasarnya penyakit fisik itu bisa dipengaruhi faktor psikologi. Ketika mengalami gangguan psikologi ringan sampai berat, pasti akan memperngaruhi ke fisik juga,” ujar dia ketika ditemui di RSPI, Jakarta, Kamis (12/3).
Namun demikian, menurut dia, hal tersebut juga sebenarnya berlaku bagi setiap orang. Bukan hanya pasien corona. Sementara itu, dokter spesialis fisik dan rehabilitasi di RSPI, dr Dala juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, dalam proses rehabilitasi itu ada beberapa tim yang terdiri dari tim fisik, psikolog dan lainnya. Menurut dia, saat ini ada dua pasien yang membutuhkan bantuan psikolog, satu berusia lanjut dan satu lagi usia muda.
“Pada usia lanjut, kami cek ada gangguan cemas dan depresi terselubung. Itu yang akan kami elaborasi untuk pendampingan khusus,” kata dia. Sementara itu, untuk pasien yang lebih muda, kata dia, gangguan cemas juga terlihat jelas. Meski gejala diare di awal ia sebut tak terjadi lagi saat ini. “Tapi kami masih akan elaborasi lagi untuk saat ini,” kata dia. Dala menerangkan, pasien yang telah menjalani perawatan lebih lama, cenderung mengalami sindroma atau berbagai gejala. Di mana hal tersebut, menurut dia, bisa mengganggu sistem saraf dan psikologi dari pasien itu sendiri. “Untuk mengantisipasi, kami akan berikan video latihan gerakan dan lainnya pada pasien. Agar pasien bisa melakukan gerakan itu dengan intensif dan bertahap,” ungkap dia.
Akan tetapi, jika pasien yang dimaksud bisa menyebarkan virus, kontak melalui intercom ataupun layar akan dilakukan. Upaya itu agar tidak menyebarkan virus pada tenaga medis. “Kami juga meminimalisasi risiko,” tuturnya. Pada awal pekan ini, Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menungkapkan bahwa, pasien kasus 1 dan 2 virus corona yang tengah dirawat di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta mengalami depresi meski kondisinya saat ini terus membaik. Yurianto menyebut kedua pasien itu mengalami tekanan psikologis karena identitas mereka telah tersebar di masyarakat. Menurut Yuri, identitas pasien yang disebarkan ke masyarakat itu menjadi pukulan berat secara psikologis bagi keduanya. Akibatnya, hasil pemeriksaan spesimen terakhir keduanya kemarin pun masih dinyatakan positif virus corona meskipun keduanya tak mengalami gejala dan keluhan apa pun.
“Mereka agak depresi akibat pernah mengalami hukuman sosial akibat identitas terungkap. Sekarang mereka agak tertekan dengan itu,” ujar Yurianto di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/3). Untuk memberikan pendampingan perawatan terhadap kedua pasien tersebut, pemerintah mengirimkan psikiater. Lebih lanjut, Yurianto mengatakan, pasien kasus 3 dan kasus 4 yang juga merupakan klaster Jakarta pun kemudian menekankan agar pemerintah merahasiakan identitas mereka. “Ada keluhan dan permintaan kemudian kita harus berkali-kali menyatakan bahwa kami memberikan garansi bahwa tidak akan mengumumkan namanya. Karena mereka takut seperti yang terjadi 1 dan 2,” jelas dia.
Direktur utama RSPI Sulianti Suroso, Muhammad Syahril hari ini menginformasikan, per Kamis (12/3), pasien di RSPI menjadi 702 orang. Setelah sebelumnya ada di kisaran 677 orang. Namun demikian, menurut dia, pasien yang diisolasi hingga kini ada sekitar sembilan orang, setelah sebelumnya ada yang dinyatakan meninggal karena sakit berat. “Itu karena acute respiratory distress syndrome (ARDS)” ujar Syahril di RSPI Sulianti Saroso, Kamis. Syahril menerangkan, pasien wanita berusia 37 tahun yang datang Rabu (11/3) malam, meninggal pada Kamis pagi. Namun, dia menyatakan, dari tracing, pasien tersebut diketahui tak memiliki kontak dengan terduga corona.
“Masih dipelajari penyebabnya. Dan mudah-mudahan negatif (corona),” ujar Syahril. Dia melanjutkan, dari data yang diterima, pasien tak memiliki penyakit bawaan. Meskipun ada rasa sesak sebelum dinyatakan meninggal. Sambung dia, ketika tiba dari RS pemerintahan pada malam sebelumnya, pihaknya di RSPI langsung memberikan pertolongan dan terapi, namun pasien tak tertolong. “Awalnya rawat jalan di RS itu, kemudian keluar, tapi tak ada perubahan yang baik. Lalu masuk ke sini (RSPI) dan kondisinya tetap tidak baik, bahkan memakai ventilator saat datang,” tuturnya.
(Source: merdeka.com, republica.co.id)