Kesuksesan Sistem Tanam Paksa dan Awal Bangkrutnya Kopi Jawa; Proyek tanam paksa yang diberlakukan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch terhadap kopi ternyata berbuah manis. Menurut Surip Mawardi dalam makalahnya berjudul ‘Perkembangan Bahan Tanam Kopi Arabika di Indonesia Selama Tiga Abad (1699-1999)’, hingga 1840 di Pulau Jawa saja ada sekitar 330 juta pohon kopi yang mampu menghasilkan satu juta karung kopi. Dua tahun kemudian, panen kopi mengalami lonjakan menjadi sekitar 64.201 ton.
Pada 1845, pasaran dunia memerlukan 209.100 ton kopi. Kendati tidak bisa mengulangi prestasi seperti di tahun 1724, namun setidaknya kopi jawa berhasil memenuhi 27 persen (209.100 ton) dari permintaan pasar dunia tersebut.
“Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan USD75,5 miliar hari ini),” ujar sejarawan Peter Carey.
Kopi dan Megahnya Istana Bupati
Sebagai pihak yang dilibatkan secara aktif dalam proyek tanam paksa, para bupati dan menak Priangan dengan sendirinya ikut pula menikmati ‘keberkahan panen kopi’. Terlebih untuk para bupati yang memiliki perkebunan sendiri, laba yang didapat tentunya semakin berlipat ganda.
Sejarawan Jan Breaman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 mengisahkan gambaran kesuksesan para bangsawan Priangan tersebut. Mengutip laporan dari Pendeta Van der Hoevel yang pada 1847 tengah mengunjungi Cianjur, Breman menulis betapa bupati setempat telah begitu kaya.
“Tempat tinggalnya yang seperti istana, ditata megah bergaya Eropa namun tanpa cita rasa, dilengkapi beberapa cermin besar, lukisan, sofa besar…Mereka juga memiliki abdi dalem dan pelayan serta delapan penari tradisional.”
Situasi yang lebih baik tentunya dialami oleh para ‘mitra’ mereka. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern karya sejarawan M. C. Ricklefs. Ricklefs disebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: utang-utang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan dibangun, terusan-terusan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.
“Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat Jawa yang diperas: penyakit dan kelaparan bertambah merajalela dan kaum miskin melonjak tinggi jumlahnya di desa-desa Jawa),” ungkapnya.
Situasi itu pula yang kemudian memunculkan kritik terhadap cultuur stelsel. Tokoh humanis Belanda Eduard Dauwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar, of the Koffie-veilingen der Nederlandsche Handelsmaatshappij memprotes akibat dari culltuur stelsel yang banyak memakan korban dari kalangan rakyat Hindia Belanda. Dia juga menuduh sistem itu sebagai kecurangan pemerintah Hindia Belanda kepada petani hingga menyebabkan kemiskinan, tragedi dan kematian para petani lokal.
‘Kutukan’ Hampiri Bisnis Kopi Hindia Belanda
Selanjutnya dari kelompok liberal muncul nama Fransen van de Putte. Dalam sebuah artikel berjudul ‘Suiker Contracten’, dia mengkritik cultuur stelsel yang telah membunuh bisnis perkebunan swasta di Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda merespon kritik-kritik itu dengan mengganti cultuur stelsel dengan peraturan Undang-undang Agraria (Agrische Wet) pada 1870. Dalam aturan tersebut, pihak swasta diberikan porsi besar untuk mengelola bisnis kopi di Hindia Belanda. Disediakan Hak Guna Usaha perkebunan selama 75 tahun untuk pihak swasta dan perorangan.
Pasca 1870, pihak swasta merajai bisnis kopi di Hindia Belanda. Dengan memanfaatkan kebijakan Politik Etis (politik balas budi), mereka mengatur manajemen bisnis kopi secara mandiri. Begitu dominannya peran mereka, hingga pada 1905, secara resmi pemerintah Hindia Belanda menarik diri dari bisnis kopi di Jawa. Tiga tahun kemudian, mereka melakukan hal yang sama di Sumatera.
Seiring pengalihan itu, pada 1876 “kutukan” menghampiri bisnis kopi di Hindia Belanda. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba wabah yang disebut sebagai hemeleia vastatrix merajalela.
Hemeleia vastatrix merupakan jamur berwarna putih yang menempel di pucuk daun kopi. Kendati terlihat sepele dan biasa, jamur itu terbukti bisa menebar secara mendadak di sebagian besar perkebunan Kopi Jawa, terutama yang berada di dataran rendah (di bawah 1.000 dpl).
Menurut Prawoto yang mengutip Fernando dalam karyanya Java, akibat serangan jamur putih itu, bisnis Kopi Jawa mengalami sakratul maut. Sejarah mencatat pada 1880, Jawa telah kehilangan potensi ekspor sekitar 120.000 ton biji kopi sehingga menimbulkan kepanikan luar biasa di pasaran kopi dunia.
“Para pengamat industri kopi dunia mengungkap situasi yang terjadi di Jawa (dan Ceylon) itu sebagai “declining of Asian production” yang turut mendorong kenaikan harga kopi di pasaran dunia,” tulis Prawoto.
Bencana yang terjadi di Jawa (dan Ceylon) dimanfaatkan oleh para petani Brazil. Mereka lantas menanam kopi secara besar-besaran. Perlahan namun pasti, Brazil kemudian menggantikan posisi Hindia Belanda sebagai pemasok utama kopi dunia, hingga kini.
(Source: merdeka.com)