You are currently viewing Aturan Sekolah tatap Muka

Aturan Sekolah tatap Muka

Aturan Sekolah tatap Muka: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran secara tatap muka kepada sekolah usai para pendidik dan tenaga kependidikannya telah menjalani vaksinasi. “Karena kita sedang mengakselerasi vaksinasi, setelah pendidik dan tenaga pendidikan di dalam suatu sekolah telah divaksinasi secara lengkap, pemerintah pusat, pemerintah daerah atau kantor Kemenag mewajibkan satuan pendidikan tersebut untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan,” tegas Nadiem dalam konferensi pers daring pada Selasa (30/3).

Nadiem menyebut, sekolah juga wajib memberikan pilihan pembelajaran secara jarak jauh. Hal ini lantaran, kendati sekolah telah menjalankan pembelajaran secara tatap muka, namun secara prosedur protokol kesehatan, kapasitas yang diizinkan hanya 50 persen saja. “Jadi mau tidak mau walaupun sudah selesai vaksinasi dan diwajibkan untuk memberikan tatap muka terbatas, tapi harus melalui sistem rotasi. Sehingga harusnya menyediakan dua-dua opsinya, tatap muka dan juga pembelajaran jarak jauh,” tekannya.

Kendati sekolah diwajibkan menggelar pembelajaran secara tatap muka, namun kata Nadiem keputusan untuk kembali menyekolahkan anaknya secara langsung ada di tangan para orang tua. Orang tua masih memiliki pilihan apakah mau mendorong anaknya untuk belajar di sekolah atau tetap memilih belajar di rumah. “Yang terpenting adalah orang tua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas atau tatap melaksanakan pembelajaran jarak jauh,” ucapnya.

Mantan Bos Gojek Indonesia itu mengungkapkan kekhawatirannya jika sekolah tak kunjung menggelar pembelajaran secara tatap muka. Menurutnya banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan lantaran pembelajaran jarak jauh. “Kita melihat trand-trand yang sangat mengkhawatirkan, trand anak-anak yang putus sekolah. Kita melihat penurunan capaian pembelajaran, apalagi di daerah-daerah di mana akses dan kualitas itu tidak tercapai. Jadinya kesenjangan ekonomi menjadi lebih besar ya,” terang Nadiem.

Pembelajaran jarak jauh, lanjut Nadiem juga terpotret sebabkan orang tua menarik anaknya keluar dari sekolah. Hal ini lantaran mereka tak melihat peranan sekolah selama menggelar pembelajaran secara jarak jauh. “Dan ada berbagai macam isu-isu kekerasan domestik yang terjadi dalam keluarga yang tidak terdeteksi. Jadi risiko dari sisi bukan hanya pembelajaran, tapi risiko dari masa depan murid itu dan risiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional anak-anak itu, ini semuanya sangat rentan. Jadi kita harus mengambil tindakan tegas untuk menghindari agar ini tidak menjadi dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang,” sambungnya.

“Yang terpenting adalah orangtua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas atau tatap melaksanakan pembelajaran jarak jauh,” ucap Nadiem. Untuk itu Nadiem menekankan agar sekolah juga tetap memberikan pilihan pembelajaran jarak jauh. Selain untuk mengakomodasi pilihan orang tua yang belum mau memberikan anaknya sekolah tatap muka, opsi ini juga demi memenuhi tuntutan protokol kesehatan. Di mana pembelajaran secara tatap muka di masa pandemi hanya diizinkan 50 persen dari daya tampung ruangan. “Jadi mau tidak mau walaupun sudah selesai vaksinasi dan diwajibkan untuk memberikan tatap muka terbatas, tapi harus melalui sistem rotasi. Sehingga harusnya menyediakan dua-dua opsinya, tatap muka dan juga pembelajaran jarak jauh,” tekannya.

Sekolah Tatap Muka, Satgas Covid-19 Ingatkan 14 Persen Kasus Positif Merupakan Anak

Pemerintah memutuskan memulai sekolah tatap muka terbatas sejak Juli 2021. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19. Empat menteri yang terlibat dalam penentuan sekolah tatap muka terbatas adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menanggapi keputusan pembukaan sekolah tatap muka terbatas pada Juli 2021. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito mengatakan, pembukaan sekolah harus memperhatikan tahapan pra kondisi, timing, prioritas, koordinasi pusat dan daerah serta monitoring dan evaluasi.

“Jadi bapak ibu sekalian terutama pemerintah daerah yang memberikan izin pembukaan aktivitas sekolah terbatas itu betul-betul melakukan simulasi. Pastikan semua kondisinya siap, disimulasi mulai dari anak-anak sekolah itu berangkat dari rumah menuju sekolah, aktivitas di sekolah, sampai selesai kembali lagi ke rumah,” kata Wiku, Selasa (30/3). Dia mengingatkan sekolah tatap muka terbatas harus melindungi siswa dan guru dari penularan Covid-19. Dia juga berharap, siswa yang mengikuti sekolah tatap muka terbatas tidak menjadi sumber penularan bagi keluarganya.

“Maka dari itu, pembukaan sekolah terbatas itu juga harus dijaga jangan sampai anak-anak sekolah mungkin bisa tertular saat dalam perjalanan menuju ke sekolah atau kembali atau waktu dalam sekolah yang menulari orang tuanya. Mungkin orang tuanya ini adalah orang-orang yang memiliki komorbid satu, dua atau lebih dan usianya rentan,” ujarnya. Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ini menyebut, tingkat fatalitas akibat Covid-19 pada anak usia sekolah memang sangat rendah. Namun, anak usia sekolah masih sangat berisiko terinfeksi Covid-19.

Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, sebesar 14 persen dari total 1.496.085 kasus positif di Indonesia merupakan anak usia sekolah. Data ini per 28 Maret 2021. “Kalau kita lihat dari seluruh kasus (positif Covid-19) anak sekolah ini yang banyak memang pada usia 7 sampai 12 tahun, ada 49.962 kasus. Kemudian usia 16 sampai 18 tahun atau usia SMA sebanyak 45.888,” jelasnya. Tak hanya itu, tercatat ada 23.934 kasus positif Covid-19 dialami anak usia 0 sampai 2 tahun atau seusia PAUD. Sementara ada 25.219 kasus positif Covid-19 dialami anak usia 3 sampai 6 tahun atau seusia TK. Kemudian sebanyak 36.634 kasus positif Covid-19 menimpa anak usia 13 sampai 15 tahun atau setingkat SMP.

Mendikbud Soal Pembelajaran Tatap Muka: Kami Memberikan Kebebasan Sekolah Menentukan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan, sekolah bebas menentukan berapa kali menggelar pembelajaran tatap muka. Hal itu menyusul pembukaan kembali sekolah setelah seluruh guru dan tenaga pendidikan menerima vaksin Covid-19. Dia mengatakan, pembukaan sekolah kembali bukan berarti beraktivitas seperti biasa. Tetap dibatasi protokol kesehatan. Salah satunya maksimal peserta didik 18 anak dalam satu kelas.

“Kondisi-kondisi yang terpenting adalah sosial distancing minimal satu setengah meter, jaga jarak antara bangku bangku dan kursi, dan maksimal 18 peserta didik per kelas. Yang biasanya biasanya 36 sekarang 50% yaitu 18,” jelasnya dalam konferensi pers, Selasa (30/3). Nadiem mengatakan, sekolah dibebaskan memilih berapa kali menggelar tatap muka dalam satu pekan. “Jadi sekolah itu boleh bebas memilih, Kalau dia mau melaksanakan tatap muka hanya dua kali seminggu di dalam sekolahnya, itu diperbolehkan. Dia mau dipecah jadi tiga, silakan. Kita memberikan kebebasan sekolah untuk menentukan bagaimana,” katanya.

Selain semua guru dan tenaga didik divaksinasi, kebijakan ini bergantung kepada orang tua murid. Jika tidak berkenan sekolah tatap muka, orang tua murid boleh memilih tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh. “Yang terpenting adalah orang tua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya, Apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas, atau tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh,” tutup Nadiem.

(Source: merdeka.com)