Dampak untuk Indonesia Saat Bank Sentral Amerika Naikkan Suku Bunga; Bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) baru saja memutuskan menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin (bps). Kenaikan ini hanya berselang sebulan atau pada Juni The Fed menaikkan suku bunga acuan dengan besaran yang sama.
The Fed beralasan kenaikan suku bunga diperlukan untuk memerangi inflasi tinggi di Amerika Serikat. “Inflasi tetap tinggi, mencerminkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terkait pandemi, harga pangan dan energi yang lebih tinggi, dan tekanan harga yang lebih luas,” kata The Fed.
Langkah terbaru ini setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin pada pertemuan Juni, menandai kenaikan suku bunga paling tajam sejak 1994. The Fed sebelumnya menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Maret dan kemudian sebesar 50 basis poin pada Mei.
Itu adalah pengetatan kebijakan moneter tercepat sejak mantan Ketua Fed Paul Volcker berjuang melawan inflasi dua digit pada 1980-an. Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), badan pembuat kebijakan Fed, memutuskan untuk menaikkan kisaran target suku bunga dana federal menjadi 2,25 hingga 2,50 persen.
Kenaikan suku bunga The Fed ini tentu akan mempengaruhi tatanan ekonomi global. Indonesia tak akan lepas dari dampaknya. Berikut rangkuman sejumlah dampak untuk Indonesia.
Arus Modal Asing Keluar
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, The Fed sudah mulai mengambil langkah kebijakan moneter untuk mengatasi lonjakan inflasi di Amerika Serikat. Salah satunya dengan menghentikan quantitative easing yang diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan, serta pengurangan balance sheet secara signifikan.
“Hal ini berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat,” kata Menteri Sri Mulyani.
Kombinasi dari kebijakan tingkat bunga dan penyesuaian balance sheet Amerika Serikat telah mendorong peningkatan yield surat utang yang berbasis US Treasury. Ini berpotensi membuat volatilitas di pasar keuangan global meningkat.
Mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko yang terjadi di negara berkembang.
“Kombinasi tingginya suku bunga dan dollar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan,” kata Menteri Sri Mulyani.
Bunga Utang Membengkak
Berkaca pada peristiwa serupa di 2018 lalu, kenaikan suku bunga The Fed akan sangat berdampak pada cost of fund pemerintah. Sehingga kenaikan imbal hasil pada SBN tidak bisa lagi terhindarkan.
“Peningkatan tersebut akan berdampak pada peningkatan beban bunga APBN,” ungkap Menteri Sri Mulyani.
Apalagi di tengah ketidakpastian global saat ini, diperkirakan kebijakan serupa akan terus diambil The Fed di 2023. Sehingga mau tidak mau pemerintah harus meningkatkan tingkat suku bunga SBN 10 tahun yang lebih tinggi daripada 2022.
Ancaman Krisis Keuangan
Menteri Sri Mulyani mengatakan secara historis, setiap The Fed menaikkan suku bunga apalagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara pasar berkembang. Sebagaimana yang terjadi pada 1974, 1980-an dan akhir 1980-an.
“Ini menjadi salah satu risiko yang dipantau oleh institusi, oleh IMF dalam melihat kerawanan negara-negara developing dan emerging,” tuturnya.
Volatilitas yang meningkat juga menimbulkan kemungkinan penurunan atau pelemahan kinerja ekonomi negara-negara di seluruh dunia. AS dengan kenaikan suku bunganya akan memunculkan adanya tantangan atau ancaman resesi.
(Source: Merdeka.com)