Gubernur Soerjo Sebut Pertempuran Surabaya Sebagai Takdir Tuhan

Gubernur Soerjo Sebut Pertempuran Surabaya Sebagai Takdir Tuhan

Gubernur Soerjo Sebut Pertempuran Surabaya Sebagai Takdir Tuhan; Segala daya upaya untuk mempertahankan perdamaian sudah dilakukan pemerintah Jawa Timur. Namun peperangan menjadi pilihan pihak Inggris. Maka terjadilah pertempuran seru di Surabaya. Usai mendengarkan pidato Gubernur Soerjo, rakyat Surabaya terbakar semangat perlawanan. Para pemuda di berbagai kampung bergotong royong membangun basis pertahanan. Berupa barikade tumpukan perabotan rumah, rongsokan kendaraan dan barang bekas lainnya.

Mereka mencoba menahan laju tank dan infanteri Inggris. Sehingga membuka celah para pejuang melakukan penyergapan. Surabaya sedang bersiap menghadapi badai besar.

Tepat jam 06.00 pada 10 November 1945, tentara Inggris membombardir Surabaya. Berlangsung hingga tengah malam. Diikuti serbuan tank dan infanteri. Akibat penyerbuan besar itu, ribuan orang tewas, mayoritas rakyat sipil.

“Di Pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,” ungkap Letnan Kolonel (Purn.) Moekajat, salah seorang veteran pertempuran di Surabaya.

Surabaya Lautan Api dan Mayat
Dari hari ke hari, Surabaya menjadi lautan api dan mayat. Jasad manusia, kuda, anjing, kucing, kambing dan kerbau bergelimpangan di selokan dan jalan-jalan utama. Bau busuk yang bersanding dengan mesiu telah menjadi aroma sehari-hari di kota itu.

Di bawah ‘guyuran’ agitasi Bung Tomo dari Radio Pemberontak, pertempuran antara dua pihak berlangsung makin keras. Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari tentara Jepang, arek-arek Suroboyo dan pemuda lainnya melakukan perlawanan sengit.

Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat. Jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Menurut sejarawan David Wehl dalam The Birth of Indonesia, perlawanan pejuang Indonesia di Surabaya berlangsung dalam dua cara; pertama pengorbanan diri secara fanatik dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau belati dan dinamit di badan menyerang tank-tank Sherman; dan kedua, dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.

Gubernur Soerjo Serukan Perlawan
Pada hari pertama pertempuran, Gubernur Soerjo untuk kedua kali berpidato melalui corong radio:

“Saya berterimakasih, bahwa pemerintah pusat telah menyerahkan jawaban terhadap ultimatum Inggris kepada kami di Jawa Timur. Keputusan kami telah mengakibatkan meletusnya pertempuran seru di Surabaya. Namun itulah keputusan kami yang terbaik. Kami bertempur untuk merebut kembali hak-hak serta kedaulatan kami dari tangan musuh. Saat ini kami semua berada dalam suatu akhir masa. Suatu masa lama yang segera akan berakhir. Peristiwa di Surabaya tidak dapat dihindari, tidak dapat diubah. Ini adalah kemauan Tuhan Yang Maha Tinggi.

Ini merupakan tanda-tanda, bahwa zaman keemasan segera akan datang kepada tanah air kita Indonesia. Seluruh rakyat Jawa Timur tanpa kecuali, semua buruh tinggi maupun rendah, percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi akan melimpahkan tegaknya kebenaran kepada seluruh bumi dan alam Indonesia, yang sudah berabad-abad lamanya hilang.

Kami tidak pernah ingin menyerang. Tetapi kami akan mempertahankan hak-hak kami. Sebagai suatu bangsa yang mencintai kebebasan, kami berada di pihak yang benar. Kami hanya menghendaki kebenaran. Terpujilah selalu, Tuhan Yang Maha Tinggi.”

Tentara Inggris sempat terkejut menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Di hari kedua (11 November 1945), tiga pesawat Mosquito ditembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigadir Robert Guy Loder Symonds, Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris, terkena tembakan Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran Heiho yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai.

Hingga pertempuran mencapai hari ke-21, korban tewas diperkirakan mencapai puluhan ribu jiwa. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam pertempuran itu sekitar 16.000 jiwa. Di pihak Inggris, sejak mendarat di Surabaya, telah kehilangan sekitar 1.500 prajuritnya (termasuk dua perwira setingkat brigadir) dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India yang membelot ke kubu para pejuang Surabaya.

(Source: Merdeka.com)