Kondisi Kita Hari Ini, di Batas Tipis Pandemi dan Endemi

Kondisi Kita Hari Ini, di Batas Tipis Pandemi dan Endemi

Kondisi Kita Hari Ini, di Batas Tipis Pandemi dan Endemi; Ratusan orang mengantre di Stasiun Bogor, Rabu kemarin (6/4). Tujuan mereka mayoritas sama, menuju tempat bekerja di seputaran Jakarta. Pemandangan ini sudah terjadi sepekan terakhir. Hampir serupa suasana sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia.

Keramaian Stasiun Bogor turut berdampak pada kondisi stasiun lainnya di Jakarta. Walaupun tidak sepadat dua hari lalu, tetapi penumpang terpantau ramai. Hampir tidak ada lagi jaga jarak. Beruntung, kepatuhan mengenakan masker tetap dilakukan.

Pemandangan seperti ini baru beberapa pekan terjadi. Tepat setelah satu per satu pelonggaran kebijakan menyikapi kondisi pandemi di Tanah Air disampaikan pemerintah. Sebelumnya, kebijakan bekerja di rumah diikuti pembatasan jumlah penumpang membuat suasana gerbong nyaris sepi.

Memantau bagaimana aktivitas warga menggunakan kereta. KRL rute Bekasi-Jakarta Kota via Manggarai tak terlalu ramai. Di setiap gerbong masih terdapat ruang untuk bergerak. Tidak berjejal seperti yang sempat ramai di media sosial dua hari terakhir. Begitu pun suasana kereta menuju Tanah Abang.

“Kalau sekarang ya sudah enggak ada padat seperti kemarin. Karena momennya sudah selesai, mereka hari pertama buka saat bekerja pasti maunya di rumah,” kata Rani (30), pengguna KRL kepada merdeka.com.

Ramainya penumpang juga terlihat di angkutan Transjakarta rute Stasiun Tanah Abang-Stasiun Gondangdia. Meski masih ada bangku kosong, jumlah penumpang cukup ramai. Perjalanan sampai ke tujuan tak butuh waktu lama, sebab kebetulan lalu lintas tidak terlalu padat.

Setibanya di Stasiun Gondangdia, pemeriksaan aplikasi Pedulilindungi oleh petugas juga tidak terlalu ketat.

Tidak cuma angkutan massal yang mulai ramai. Lalu lintas di Jakarta juga kembali padat. Tepatnya di jam-jam kantor. Kondisi ini seiring banyaknya perkantoran kembali memberlakukan work from office (WFO) setelah pemerintah melakukan pelonggaran.

“Suami sekarang kena macet lagi. Ke Bogor balik lagi hampir dua jam kadang,” kata Novi.

Dampak pelonggaran juga membuat pusat keramaian seperti pasar kembali dipadati pengunjung. Apalagi bertepatan momen menyambut Idul Fitri.

Suasana Tanah Abang

Pagi tadi, saat mendatangi Pasar Tanah Abang, kios-kios pedagang belum semuanya beroperasi. Rolling door beberapa kios masih tertutup. Belum ada keramaian di pusat grosir terbesar itu.

“Biasanya jam 9 ini sudah ramai, sekarang masih sepi. Kemarin juga sepi,” kata Eci (28) pedagang aksesoris dan masker di Blok G.

Satgas Covid-19 Sebut Mobilitas Naik Tajam ke Tempat Retail hingga Rekreasi
Pemilik kios terlihat masih menyusun barang dagangannya. Tanda kios baru saja dibuka. Jumlah pengunjung yang memenuhi lantai Blok G saat itu pun sedikitnya tidak lebih dari 100 orang.

“Masih sepi, biasanya seminggu puasa ramai,” kata Aga, pedagang pakaian muslim.

Aga sedang melayani Eca, pembeli asal Subang. Eca membeli 25 potong mukenah yang akan ia jual kembali. Saban tahun, Eca berbelanja grosiran di Tanah Abang.

Suasana hidup normal memang benar-benar dirindukan masyarakat Indonesia. Dua tahun hidup dalam pandemi tentu menghambat aktivitas. Apalagi, pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah pelonggaran kebijakan. Dengan alasan, kasus Covid-19 di Tanah Air mulai menurun. Meski status pandemi belum dicabut.

Lantas, apakah Indonesia sudah siap kembali beraktivitas normal?

Pemerintah memang melonggarkan sejumlah kebijakan. Tetapi harapannya, masyarakat benar-benar menyikapinya secara bijak. Indonesia harus bisa belajar dari kondisi-kondisi sebelumnya. Apalagi, banyak negara di dunia menyatakan keluar dari pandemi, tetapi yang terjadi kasus Covid-19 malah meningkat.

“Kita harus betul-betul belajar dari negara lain khususnya yang sudah duluan mendeklarasikan bebas, kemudian luar biasa melakukan banyak pelonggaran yang akhirnya tidak lama. Bahkan tidak lebih dari satu bulan sejak itu, seperti misalnya Inggris,” kata Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman.

Dia menceritakan, kondisi Inggris saat ini cukup buruk. Walaupun tidak ada angka kematian tetapi kenaikan kasus cukup berdampak pada aktivitas ekonomi dan sosial negara itu.

“Betul fatalitasnya tidak setinggi waktu Delta. Tapi ya tetap sakit parah. Tetap ada yang harus dirawat di rumah sakit atau menjalani isoman,” jelasnya.

Kemunculan setiap varian baru, katanya, tetaplah harus diwaspadai. Apalagi untuk varian BA.2, virolognya 10 kali dari BA.1. Mereka yang memiliki komorbid tentu tidak bisa main-main menyikapi varian tersebut.

“Dan pada kelompok yang menurun imunitasnya atau proteksi dari vaksinasinya ini kan bisa membuat timbul gejala yang tentu tidak ringan,” jelasnya.

Apa yang terjadi di Inggris saat ini tidak menutup kemungkinan bisa terjadi di Indonesia. Apalagi, masih banyak lansia dan anak di bawah 5 tahun belum mendapatkan vaksin. Itu sebabnya, dia meminta masyarakat Indonesia tidak lengah dan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Dalam waktu dekat, masyarakat Indonesia juga kembali melakukan perjalanan mudik. Dicky meminta masyarakat benar-benar diedukasi agar tidak ada lagi lonjakan kasus setelah momen mudik selesai.

“Kalau tidak disertai dengan kedisiplinan memahami potensi risiko masing-masing, ya jangan kaget kalau kita akan melihat adanya peningkatan kasus,” tegasnya.

Indonesia Bisa Belajar dari Inggris
Dia sangat berharap kondisi pandemi yang sudah jauh membaik di Indonesia bisa terus dipertahankan. Pemerintah, juga diminta terus mematuhi arahan-arahan WHO.

“Sekali lagi status pandemi ini status yang mengikat dan tidak main-main. Jadi tidak bisa kita menetapkan sendiri, bebas. Karena WHO itu juga gudangnya para ahli. Sehingga penetapan status darurat kesehatan ini tentu tidak bisa kita nyatakan selesai begitu saja hanya dengan pertimbangan sepihak,” jelasnya.

Selain itu, katanya, pemerintah tetap konsisten penerapan leveling terhadap pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sebagai bentuk mitigasi. Selain itu, terus mengejar target vaksinasi.

Terakhir proses komunikasi dalam menyampaikan kondisi yang sebenar-benarnya terjadi di Indonesia. Kebijakan diambil dan disampaikan benar-benar dianalisa terlebih dahulu sehingga tidak terjadi kebingungan di masyarakat.

“PR-nya pemerintah itu di literasi paling besar. Komunikasi risiko yang dibangun itu harus diperbaiki untuk membangun kewaspadaan. Karena sekali lagi, ketika kita abai, virus ini bisa menjadi pemicu terjadinya badai,” tegas Dicky.

(Source: merdeka.com)

Leave a Reply