Lolos dari Jebakan Gerilyawan Permesta, KKo AL Berhasil Keluar dari Gunung Wiau; Kisah seorang komandan peleton yang berjibaku menyelamatkan pasukannya dari serangan gencar musuh di palagan Minahasa. Nisan putih itu berdiri kokoh di Taman Makam Pahlawan Kairagi, Manado. Di bagian atas tercantum tulisan: Soetedi Senaputra, Kapten TNI AL, Gugur: 11-1-1960. Siapakah sejatinya Kapten Soetedi Senaputra?
Alkisah enam puluh dua tahun lalu. Bulan Januari baru saja memasuki hari ke-11, saat dua peleton pasukan Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL) dari Detasemen Pendarat (DETAP) mulai memasuki Gunung Wiau. Situasi yang sudah mencekam semakin menegangkan saat para prajurit baret ungu kerap mendapat gangguan dari para penembak runduk musuh.
Gunung Wiau atau lebih dikenal sebagai Gunung Bandera, merupakan sebuah bukit kecil yang masuk dalam wilayah Tatelu, Minahasa Utara. Tempat itu merupakan markas gerilyawan Perjuangan Semesta (Permesta) pimpinan Anies Tangka yang berkuasa atas wilayah Likupang, Tatelu dan sekitarnya.
Pergerakan dua peleton DETAP pimpinan Wakil Komandan Kompi Letnan Dua KKo Kahpi Soeriadiredja sejatinya merupakan pasukan bantuan. Beberapa jam sebelumnya, satu peleton DETAP pimpinan Letnan Muda KKo Soetedi Senaputra (yang tak lain adalah adik sepupu Kahpi) telah dikirim untuk menguasai Gunung Wiau. Namun, alih-alih dapat membereskan bukit kecil tersebut, peleton Teddi malah masuk dalam jebakan zone pembantaian (killing ground).
“(Yang dapat dilakukan), pasukan KKo-AL ini hanya diperintahkan berdiam diri sambil menunggu bantuan datang,” demikian menurut buku 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir yang ditulis oleh Mayor Laut (KH) Drs. Junaedi, Mayor Laut (KH) Drs. Margoyono dan Sersan Satu Marinir M. Syafrudin,SH.
Dihujani Peluru Musuh
Saat menginjakan kaki di lereng Gunung Wiau, pasukan Kahpi langsung melakukan pendakian. Saat itulah, tiba-tiba mereka dihujani peluru-peluru Mitraliur 12,7. Sebagian peluru bahkan menghantam akar-akar gantung pohon beringin raksasa yang menjadi tempat perlindungan pasukan DETAP hingga kulit-kulitnya terkelupas.
“Kami sendiri tak bisa sama sekali melihat posisi musuh karena lereng-lerengnya ditumbuhi pepohonan yang sangat rapat,” ujar Kahpi dalam otobiografinya, Mengukir Jejak Langkah: Pengabdian Sebagai Prajurit Marinir.
Keadaan benar-benar kritis buat para prajurit KKo-AL. Kedua peleton DETAP seolah terkunci. Alih-alih bergerak maju, sekadar untuk merayap perlahan pun mereka sudah disiram desingan peluru.
Namun sebagai komandan, Kahpi tentunya harus melakukan sesuatu. Tanpa menghiraukan keselamatan diri, dia meloncat dari pohon ke pohon, berjibaku menghadapi hujan peluru. Tiba di sebuah pohon beringin raksasa, Kahpi memerintahkan anak buahnya bertahan. Sementara itu dari dataran agak tinggi, para gerilyawan Permesta dengan enaknya menembaki mereka sambil melontarkan ejekan kepada para prajurit KKo.
Saat itulah, tiba-tiba dari arah samping, Kahpi mendengar seseorang berteriak.
“Letna Tedi kena! Letnan Tedi kena tembak!”
Keluar dari Zona Pembantaian
Awalnya Kahpi terperangah. Namun sedetik setelah itu, tanpa pikir panjang, dia langsung maju sendirian, memburu datangnya sumber teriakan itu. Nampak di depannya, Letnan Tedi tengah terkapar. Secepat kilat, Kahpi memeriksa lukanya. Ternyata peluru masuk ke perut namun tidak tembus sampai ke bagian belakang. Begitu menengok kanan-kiri, Kahpi baru sadar bahwa mereka tinggal bertiga saja di garis terdepan.
“Saya langsung angkat dia walaupun berat…” kenang Kahpi.
Ketika bergerak mundur, mulut Tedi terus meracau. Dalam bopongan kakak sepupunya itu, Tedi mengigau banyak hal mengenai kenangan-kenangan masa lalu, terutama mengenai nenek mereka. Anehnya igauan itu diucapkannya dalam bahasa Inggris.
“Akhirnya dalam pangkuan saya, dia menghembuskan napas terakhir…” kenang Komandan Korps Marinir AL yang ke-6 itu.
Walaupun bisa dikatakan gagal menguasai Gunung Wiau, namun Kahpi berhasil membawa pulang peleton KKo yang terjebak dalam zona pembantaian. Selanjutnya gerakan pasukan dialihkan ke wilayah Wasian-Tatelu guna melakukan pembersihan. Gunung Wiau sendiri baru berhasil dikuasai oleh tentara pemerintah beberapa hari kemudian, lewat suatu pertempuran yang juga sangat brutal.
Sebelum gugur, Letnan Muda Soetedi Senaputra baru saja mendapatkan berita pengangkatan dirinya menjadi letnan dua. Karena itulah, pangkatnya kemudian dinaikan secara anumerta menjadi kapten.
(Source: Merdeka.com)