Semangat Laskar Kere; para pelajar turun ke medan juang. Bergabung dengan berbagai laskar. Salah satunya Laskar Kere. Ketika menjadi juru kampanye Partai Demokrat di Magelang Jawa Tengah (16/3), ibu Ani Yudhoyono bertanya kepada massa, “Dadi sopo sing kere (jadi siapa yang sengsara)?” Anak-anak muda teriak serentak, “Saya…!” “Jangan begitu, nanti Allah marah,” kata ibu Ani. Para masa awal revolusi tahun 1945, sejumlah pelajar dan pemuda pejuang Solo dengan bangga menggunakan kata “kere” untuk kesatuannya: Laskar Kere. Mereka berasal dari Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Tinggi, Sekolah Guru Atas, dan Sekolah Teknik. Mereka terjun ke berbagai front melawan tentara Inggris (Gurkha) antara Solo dan Semarang seperti Salatiga, Bawen, Banyubiru, dan Ambarawa. Berikut yang telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;
Menurut buku Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan, setelah pertempuran di Susukan, kecamatan di Kabupaten Semarang, pasukan pelajar menggunakan nama Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi. Laskar Kere memperoleh perlengkapan keyker (keker) dengan tugas sebagai penyelidik di jembatan Sungai Tuntang. Laskar Kere yang merasa terjepit bergerak mundur sambil melepaskan tembakan mendekati jembatan. Ternyata Tuntang telah ditutup Tentara Keamanan Rakyat. Laskar Kere yang berseragam tentara Jepang oleh TKR dikira pasukan musuh, sehingga mereka disambut dengan tembakan senapan mesin. Laskar Kere menjadi panik dan berlindung dalam air serta berenang ke seberang sungai. Mereka selamat sampai di seberang sungai tanpa ada seorang pun yang luka atau gugur. Ketika ditanya oleh tentara TKR, “Saudara ini laskar apa?”
“Laskar Kere, Pak,” salah seorang menjawab dengan bangga. Tentara itu kemudian diantar ke komandan Laskar Kere, Achmadi. “Kita kan Laskar Kere, Pak, melarat, tetapi tidak kalah semangat,” kata Achmadi. Laskar Kere melanjutkan perjuangan. Setelah terjadi pertempuran disertai tembakan kanon di Desa Langensari, pasukan Inggris mundur ke Jatingaleh. Laskar Kere terus maju sampai Pundakpayung. Setelah bermarkas beberapa hari di Ungaran, Laskar Kere ditarik kembali ke Solo lewat Mranggen, Semarang Timur. Kedudukannya kemudian digantikan pasukan dari Divisi Mataram. Demikian juga pasukan-pasukan pelajar lainnya ditarik kembali ke Solo.
“Hal demikian sesuai dengan anjuran Presiden Sukarno kepada para pelajar pejuang untuk kembali ke bangku sekolah dengan tidak melupakan dharma baktinya untuk melakukan tugas-tugas tempur,” tulis Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan. Komandan Laskar Kere, Achmadi Hadisoemarto, lahir 5 Juni 1927 di Ngarambe Jawa Timur. Di usia 14 tahun, dia pindah ke Solo. Dia memimpin Laskar Kere di usia 18 tahun. Pada 1948, Sukarno memberinya pangkat mayor dan diangkat menjadi Komandan Batalion 2 pada KRO (Kesatoean Reserve Oemoem) TNI. Setelah reorganisasi militer, dia menjadi komandan Detasemen II Brigade XVII TNI merangkap komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo dan komandan Batalion Pelajar Brigade V KRU. Dia memimpin Serangan Umum Empat Hari di Solo (7-10 Agustus 1949) yang cukup berhasil memukul pasukan Belanda.
Mayor Jenderal Achmadi kemudian menjabat menteri penerangan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (Februari-Maret 1966). Dia ditahan penguasa Orde Baru selama sepuluh tahun. Dia meninggal pada 2 Januari 1984 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya, pemerintah Kota Solo membangun Patung Mayor Achmadi yang diresmikan pada 7 Agustus 2010 –bertepatan dengan peristiwa Serangan Umum Empat Hari di Solo.
Mengerjai Tentara Pelajar
Pada akhir Januari 1946, satu seksi pasukan tentara pelajar di bawah pimpinan Murdoyo dan Poly Sulistio, dari Yogyakarta tiba di Jetis, asrama TRIP setelah mundur dari Surabaya. Mereka bermaksud bergabung dengan kesatuan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Setelah melalui latihan kemiliteran, pada suatu malam yang gelap, mereka dibangunkan agar bersiap-siap berangkat ke front untuk menyergap kedudukan Belanda. Semua anggota pasukan berangkat dengan hati berdebar-debar. Mereka bergerak dalam formasi satu-satu ke belakang dengan jarak 1-2 meter dengan teman di depannya. Perintah disampaikan secara beranting.
Mereka berjam-jam bergerak terus, diselingi dengan menikung ke kiri dan kanan, melalui pematang-pematang sawah dan tegalan serta menerobos berbagai perkampungan penduduk. Sekitar jam 03.00 pasukan diperintahkan berhenti dan membentuk posisi pertahanan menyamping serta mencari perlindungan di balik pohon atau gundukan tanah. Senjata yang sudah diisi dan dikunci sejak berangkat meninggalkan Jetis, kini mulai disiapkan dan diarahkan ke sasaran. Setiap anggota pasukan jantungnya berdebar-debar, mulutnya komat-kamit membaca doa, dan mengingat pesan orangtua apabila ada teman sedang sekarat agar dibisikkan kalimat syahadat.
Tiba-tiba datang perintah agar mengunci kembali senjata, karena sarang musuh harus diserang dari dekat. Semua anggota pasukan harus merayap mendekati sarang musuh. Setelah beberapa saat merayap di atas rumput dan batu-batu yang basah karena embun pagi, kembali pasukan diperintahkan berhenti dan bersiap untuk menyerang bila kedudukannya sampai diketahui oleh musuh. Komandan kemudian mengirimkan seseorang untuk menyelidiki kedudukan musuh secara tepat.
Secara kebetulan saat itu front Kedamean sedang sepi, tak terdengar satu pun suara tambakan. Setelah lama menunggu dalam kedinginan embun pagi, tiba-tiba pasukan diperintahkan bergerak sambil merundukkan tubuhnya karena sarang musuh yang akan disergap sudah dekat. Dari berbagai penjuru mulai terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan. Hari pun mulai terang-terang tanah. Ketika itulah setiap anggota pasukan mengetahui di mana mereka berada.
“Tanpa setahunya mereka tidak berkisar terlalu jauh dari Jetis, mereka hanya berputar-putar di daerah itu sepanjang malam. Terdengar anak-anak Yogya itu mengumpat gaya Jawa Timur: Jancuk, jancuk, jancuk,” kata Asmadi, mantan anggota TRIP, dalam Pelajar Pejuang. Menurut Asmadi, selama semalam mereka dicekam ketegangan, malah ada yang berpikir “apakah masih bisa ketemu nasi besok pagi”, tak tahunya mereka hanya diuji ketabahannya jika menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.
(Source: historia.id)