Suara Lantang Sjahrir di Sidang DK PBB: Kami Tak Aman Jika Belanda Ada di Indonesia

Suara Lantang Sjahrir di Sidang DK PBB: Kami Tak Aman Jika Belanda Ada di Indonesia

Suara Lantang Sjahrir di Sidang DK PBB: Kami Tak Aman Jika Belanda Ada di Indonesia; Pasca Persetujuan Linggarjati 25 Maret 1947, Indonesia mulai mendapatkan perhatian dunia Internasional. Ini sejalan dengan pengakuan de facto oleh Belanda atas Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Sumatera, Madura. Kendati demikian, persetujuan tersebut tidak serta-merta mengakhiri ketegangan antara Republik Indonesia dengan Belanda. Karena terdapat beberapa perbedaan tafsir terhadap isi persetujuan Linggarjati. Bahkan, Belanda melanggar gencatan senjata dengan melakukan agresi militer I pada 21 Juli 1947.

Belanda berulah ketika Kabinet Sjahrir III digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifuddin yang dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan Belanda. Oleh karena itu, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangannya.

Reaksi Dunia Internasional
Agresi Militer Belanda I mendapat kecaman dari dunia internasional. Salah satunya datang dari Australia yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia. Australia lantas mengusulkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar masalah ini dimasukkan ke dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB pada 31 Juli 1947. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan posisi Indonesia di mata dunia. Sejak saat itu PBB ikut serta dalam menyelesaikan sengketa antara RI dengan Belanda.

Melalui sidang Dewan Keamanan PBB yang dilaksanakan pada 1 Agustus 1947, dicapai kesepakatan gencatan senjata antara RI dan Belanda untuk berikutnya diselesaikan secara damai.

Persetujuan Linggarjati sesungguhnya telah mengantarkan Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh delegasi Indonesia pada sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 yang diwakili oleh Sudjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, Sutan Sjahrir, Charles Tambo, H. Agus Salim.

Suara Lantang Sjahrir
Atas perintah dari Dewan Keamanan PBB, Sutan Sjahrir selaku Duta Keliling Republik Indonesia diminta menjelaskan perjuangan rakyat Indonesia terhadap politik penjajahan Belanda.

Dalam kesempatan tersebut, Sutan Sjahrir menjelaskannya dalam Bahasa Inggris dengan suara yang lantang.

“Mereka menjatuhkan negara saya dari posisi negara bahari yang tangguh menjadi sebuah koloni yang lemah dan menyedihkan,” ujar Sutan Sjahrir.

“Dengan kebangkitan kembali dari bangsa-bangsa Timur yang mendorong kami untuk melakukan pergerakan nasional pada awal abad ke-20, sejak saat itu kami berharap agar bisa menjadi bangsa yang merdeka. Kami tidak akan pernah merasa aman jika Belanda masih menginjakkan kakinya di Indonesia. Dan meminta Dewan Keamanan PBB untuk meminta penarikan penuh tentara Belanda di Republik Indonesia,” tegas Sjahrir.

Sementara itu, Belanda yang diwakili oleh Eelco van Kleffens menolak pembentukan komisi perdamaian dan Dewan Keamanan PBB. Alasannya, pemerintahan fasisme ala Jepang masih sangat mungkin terbentuk. Kleffens juga menyatakan ada kemungkinan RI dan Belanda mencari mediator sendiri.

Tiga Negara di Tengah RI-Belanda
Menanggapi hal tersebut, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan dua keputusan yang dicapai dengan suara bulat. Pertama, meminta Indonesia melaporkan keadaan yang terjadi. Kedua, pembentukan komisi untuk membantu menyelesaikan pertikaian Indonesia dan Belanda.

Gerindra dan PDIP Bentuk Tim Khusus Melanjutkan Komunikasi Politik
Komisi yang dijanjikan Dewan Keamanan PBB resmi terbentuk 27 Oktober 1947. Dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini terdiri atas 3 negara. Yakni Australia (dipilih Indonesia), Belgia (dipilih Belanda), dan Amerika Serikat sebagai pihak ketiga yang dipilih oleh RI dan Belanda.

KTN ini bertugas menyelesaikan permasalahan kedua pihak mulai dari bidang politik hingga militer. KTN juga bertugas sebagai pengawas dalam perundingan-perundingan antara RI-Belanda hingga penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949.

(Source: Merdeka.com)