Kisah Lucu Batalyon Kala Hitam Saat Long March: Takut Pacet Sampai Makan Kolak Ikan; Pengalaman salah satu batalyon yang bernaung di bawah panji Divisi Siliwangi, ketika melakukan perjalanan panjang dari wilayah Jawa Tengah-Yogyakarta ke Jawa Barat pada Desember 1948-Februari 1949. Minggu, 19 Desember 1948, Yogyakarta diserang lewat udara dan darat oleh militer Belanda. Dari Lapangan Terbang Maguwo, secara pelan namun pasti, unit pasukan Lintas Udara KNIL menguasai ibu kota Republik Indonesia (RI) tersebut. Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi yang saat itu berbasis di Yogyakarta langsung bersiap melakukan long march menuju Jawa Barat kembali.
“Tadinya kami ditugaskan untuk mengawal Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta untuk menyingkir ke luar kota, tapi atas perintah Panglima Besar Soedirman, ternyata kita malah diminta bergerak kembali ke Jawa Barat,” ungkap Marzoeki Soelaiman, salah satu eks prajurit Siliwangi dari Batalyon Kala Hitam.
Dari Yogyakarta, rombongan Yon Kala Hitam menyusup wilayah-wilayah yang diduduki Belanda. Selama perjalanan panjang (long march) menempuh jarak sekitar 600 km tersebut, banyak halangan yang mengadang mereka. Termasuk serangan tentara Belanda dan medan yang berat.
Tertembak Pistol Sendiri
Suatu hari, Yon Kala Hitam yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris tengah bergerak menuruni Gunung Ijen. Untuk mencapai kampung terdekat, mereka harus melewati hutan lembab yang banyak dipenuhi pacet. Sejenis lintah yang hidup di wilayah lembab nan dingin. Untuk menghindari gigitan pacet, mereka mempergunakan tembakau yang dibasahi lalu digosokan ke badan dan kaki.
“Walaupun pacet tidak berbahaya, tetapi banyak orang merasa geli melihat lenturan tubuh pacet,” ujar Kemal Idris dalam otobiografinya: Bertarung dalam Revolusi.
Salah satu perwira bawahan Kemal Idris ternyata memiliki rasa jijik yang luar biasa terhadap binatang melata itu. Kendati seluruh tubuhnya sudah dilumuri tembakau, namun ketegangan masih mewarnai wajahnya saat pasukan mulai memasuki hutan lembab tersebut.
Satu menit, dua menit hingga setengah jam, perjalanan masih aman. Namun begitu memasuki waktu satu jam, tiba-tiba terdengar letusan pistol. Semua anggota pasukan kontan berlindung dan mengokang senjata, siap melakukan pertarungan maut.
Setelah diselidiki, ternyata pelepas tembakan pistol tersebut adalah letnan yang sangat jijik terhadap pacet-pacet itu. Rupanya saat seekor pacet hinggap di sepatunya, tanpa berpikir panjang dia mengeluarkan pistol dan menembaki pacet malang tersebut.
Akibatnya sungguh fatal. Bukan sang pacet hancur lebur, namun kaki sang letnan pun ikut terluka akibat tembakan sendiri.
“Kejadian itu akhirnya menjadi bahan lelucon saat tiba di markas kami di Cianjur…” ujar Kemal.
Kolak Ikan Mas
Lain kisah Kemal, lain pula kisah J.C. Princen. Serdadu Belanda yang membelot ke kubu Indonesia dan ikut long march bersama Batalyon Kala Hitam.
Princen bercerita, suatu hari rombongan Yon Kala Hitam sampai di suatu desa yang kosong namun minim makanan. Rupanya, makanan yang ada di desa tersebut telah habis diberikan kepada rombongan long march terdahulu dari pasukan-pasukan Divisi Siliwangi lainnya.
Satu-satunya bahan mentah yang bisa didapat di sana hanyalah ikan-ikan mas yang bertebaran di sebuah kolam besar. Mereka lantas mengambil ikan-ikan tersebut dan mengolahnya di dapur umum.
Singkat cerita, masakan ikan mas sudah matang dan dihidangkan. Semua anggota Yon Kala Hitam pun dipanggil untuk makan, termasuk Princen. Tanpa banyak cakap, tanpa banyak cakap lelaki kelahiran Den Haag yang tengah kelaparan itu pun langsung mengambil sepotong ikan ‘yang terlihat sangat lezat’. Namun, belum sampai ke tenggorokan, potongan ikan itu langsung dimuntahkannya kembali.
“Rasanya aneh dan membuat perutku mual…” kata Princen.
Selidik punya selidik, saking tak adanya bumbu ternyata ikan-ikan mas tersebut pengolahannya hanya direbus di air gula. Ya, semacam kolak ikan mas ala long march.
“Saat tahu ikan itu hanya diolah dengan menggunakan gula merah, saya lebih memilih kelaparan dan makan dedaunan saja,” kenang Princen.
(Source: Merdeka.com)