Menjaga Kewarasan Mental Saat Pandemi; Kematian, resesi ekonomi, PHK, kelaparan adalah berita yang hampir setiap hari dikonsumsi masyarakat selama pandemi Covid-19. Gaung dari berbagai berita itu tidak hanya berdengung di telinga para baby boomers dan anak milenial saja, namun hingga generasi zoomer. Sebab tak hanya di televisi, informasi dan berita buruk itu menggaungkan dirinya. Pun, tak hanya di koran-koran cetak yang hampir menuju titik kepunahannya. Di media digital (seperti Facebook, Line Today, Instagram, Twitter) pula tak henti-hentinya kita diberitahu perihal pelbagai informasi yang demikian. Disebarkannya berita tersebut tujuannya baik, yakni agar masyarakat ingat dan waspada perihal virus Corona. Lebih jauh lagi, tentunya agar masyarakat dapat kembali beraktivitas dan berkegiatan normal sebagaimana sebelum wabah muncul. Namun seperti dalam peperangan, informasi buruk (semisal kematian, PHK) yang beredar adalah ibarat granat. Berikut yang telah dirangkum oleh Tim Support Priority Indonesia (Perusahaan Sepatu Kulit Militer POLRI Safety Tunggang) dibawah ini;
Barangkali dengan dilemparkannya granat ke pihak musuh dapat meluluhlantakkan mereka, namun alih-alih granat itu nyatanya mengenai pula rekan kita. Kecemasan, kekhawatiran, hingga depresi adalah hasil nyata dari pelemparan granat tersebut. Meskipun begitu, gangguan mental semacam itu sebenarnya dapat dicegah kehadirannya. Munculnya penyakit mental itu hanya terjadi jika panglima perang dan prajuritnya tak cukup mumpuni mencipta strategi dan mengetahui hal ihwal medan perang. Jika jelas strateginya dan mengerti medannya, pasti “granat” tersebut tidak melukai mental rekan kita sendiri. Dalam hal ini medan perangnya adalah media digital. Maka dari itu, kita harus pintar serta cakap dalam menempatkan posisi dan strategi di media itu, sehingga tak terkena granat dan mampu mengalahkan musuh.
Salah satu media digital yang patut dimanfaatkan dalam konfrontasi ini adalah Twitter. Media Twitter adalah platform digital yang dapat menjadi wadah untuk menggerakkan massa, sebab mudah diakses serta memiliki banyak peminat. Twitter menempati peringkat kelima dengan pengunduh dan pengguna terbanyak di Indonesia. Selain itu, platform digital ini memiliki fitur hashtag (tagar) yang dapat digunakan untuk menyebarkan dan menemukan informasi yang dicari. Karena fitur yang dimilikinya itu, maka banyak pihak yang memfungsikannya sebagai media pergerakan massa. Siapa yang tidak tahu (atau ingat) tagar “2019GantiPresiden”? Tagar itu dibuat untuk mengkampanyekan suatu hal terkait dengan Pemilu 2019. Kita sebagai orang Indonesia tentu sangat familier dengan hashtag tersebut. Saking masifnya gerakan itu, bahkan banyak bermunculan kaos yang bertuliskan keyword demikian. Tidak hanya di Indonesia, beberapa waktu lalu di Amerika pun sempat ramai tagar “BlackLivesMatter” yang digunakan untuk melakukan pergerakan menuntut keadilan atas terbunuhnya George Floyd. Dengan gerakan itu, ribuan orang Amerika pun dapat berkumpul dan menyuarakan keadilan.
Melihat fenomena itu, dapat dikatakan bahwa tagar mampu menjadi stimulator penggiringan opini dan pergerakan masa. Oleh karenanya, agar masyarakat tidak cemas, senantiasa berpikir positif, serta konsisten bergerak maju ke depan dalam keadaan krisis sekarang, saya merasa bahwa perlu diciptakan gerakan tagar, semisal #KrisisAdalahPeluang. Kita perlu menyeimbangkan isian media digital dengan menebar hal positif semacam itu, agar menstimulasi optimisme serta kreativitas masyarakat. Bentuk informasi semacam inilah yang dapat menjadi alutsista perang kita, sehingga kita dapat bertahan dan berlindung dari bahaya ledakan granat dan serangan musuh. Dengan menggaungkan tagar berkalimat “Krisis Adalah Peluang” di Twitter, sama dengan mengajak masyarakat untuk melakukan retrospeksi ke dalam diri mereka. Bahwa benar sekarang krisis, tapi krisis adalah peluang yang menuntut kita untuk melihat dan mendefinisikan kembali setiap aspek kehidupan yang telah dijalani. Sehingga kita datang kembali menuju tatanan dan keadaan yang lebih segar dan sehat. Dengan tagar itu pula, secara tidak langsung masyarakat diajak untuk berpikiran kreatif. Sebagaimana dikatakan bahwa salah satu dimensi berpikir kreatif adalah positive use of adversity (Zohar & Marshall, 2000).
Maka gerakan #KrisisAdalahPeluang dapat pula dikatakan sebagai aksi menjaga kesehatan mental dan meningkatkan imajinasi masyarakat. Adapun kesehatan mental dan daya imajinatif itulah yang perlu dihadirkan di masa pandemi. Kesehatan mental adalah fondasi dari kuatnya imunitas yang kita miliki. Atas hadirnya pesan positif dari tagar itu pula, kita tidak lagi bertindak atas dasar ketakutan akan kelaparan. Tidak lagi bertindak atas dasar kemarahan. Tidak lagi bertindak atas dasar keserakahan. Sebab kita telah optimistis dan telah mulai berpikir serta bertindak positif dan kreatif. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak ada yang tidak dapat kita lakukan untuk menjaga kewarasan mental (mental health) serta menstimulasi tindakan positif dan kreatif masyarakat di masa pandemi sekarang. Setiap elemen masyarakat (dari generasi baby boomers, milenial, hingga zoomer) dapat berkontribusi membuat dan meramaikan tagar #KrisisAdalahPeluang kapan pun dan di mana pun di media sosial. Jika satu langkah mudah dapat kita kontribusikan demi keselamatan bersama, mengapa kita lebih memilih bungkam dan tak melakukan apa-apa?
(Source: News.detik.com)